Sejumlah analis dan mantan pejabat Israel melancarkan kritik tajam terhadap keputusan pemerintah melanjutkan rencana pendudukan penuh Jalur Gaza.
Mereka menilai Perdana Menteri Benjamin Netanyahu—yang kini menjadi buronan Mahkamah Pidana Internasional—sadar bahwa langkah tersebut tidak akan membuahkan hasil, namun tetap dijalankan demi menunda pemilu yang diprediksi akan dimenangkannya.
Pada Jumat (8/8), kabinet Netanyahu mengesahkan rencana invasi total ke Gaza, meskipun Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Eyal Zamir, telah menolak dan memperingatkan risiko “jebakan strategis”.
Dan Harel, mantan wakil kepala staf, menegaskan bahwa jika pemerintah memaksakan rencana yang ditentang kepala staf, maka tanggung jawab sepenuhnya berada di pundak mereka.
Ia meragukan keseriusan pemerintah untuk memikul beban itu, terutama setelah dua tahun perang yang penuh ketidakpastian.
Menurut Harel, pendudukan Kota Gaza dan pengusiran satu juta penduduk akan menimbulkan kerugian besar bagi Israel, baik di arena diplomasi internasional maupun di hadapan pengadilan dunia.
“Belum lagi korban luka dan tewas yang akan jatuh, dan celakalah kita jika sesuatu terjadi pada para sandera,” ujarnya.
Analis politik Channel 13, Raviv Drucker, mengutip mantan kepala staf Gabi Ashkenazi yang mengatakan bahwa selama empat tahun menjabat, pemerintah tak pernah mengambil keputusan yang berlawanan dengan rekomendasinya.
Alon Nimrodi, ayah seorang sandera di Gaza, menyebut keputusan kabinet keamanan untuk menduduki penuh wilayah itu sebagai “vonis mati” bagi para sandera.
Sementara pakar keamanan nasional, Kobi Marom, menyebut Israel kini menghadapi “situasi strategis yang rumit”.
Karena, lanjutnya, operasi “Kereta Gideon” tidak mencapai sasaran, sementara bantuan kemanusiaan terus masuk ke Gaza tanpa imbalan yang jelas bagi Israel.
Menurut Marom, pemerintah mengklaim akan meningkatkan tekanan militer demi mewujudkan rencana yang pernah digagas Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.
“Faktanya, Trump sendiri sudah melupakan rencana ilusif itu yang tidak akan pernah terwujud. Anggapan bahwa tekanan militer akan membuat Hamas menyerah dalam beberapa bulan adalah keliru,” katanya.
“Hamas tidak akan menyerah”
Marom menegaskan bahwa siapa pun yang berpendapat Hamas akan menyerah.
“Tidak memahami cara berpikirnya dan sejauh mana kesiapannya berkorban melawan Israel. Kita sudah memeranginya selama dua tahun tanpa hasil,” tuturnya.
Mantan juru bicara militer, Avi Benayahu, menyebut siapa pun yang memahami situasi di lapangan pasti tahu bahwa 5 poin utama keputusan kabinet terakhir “tidak dapat dilaksanakan” dan Netanyahu pun menyadarinya.
Mantan Menteri Luar Negeri, Tzipi Livni, bahkan memperingatkan Israel “selangkah lagi menuju kegagalan total.”
Livni menuduh pemerintah menyeret Israel semakin dalam ke lumpur Gaza, dengan mengorbankan para sandera, tentara, dan masa depan negara.
Ia juga menyerukan kepada Ketua Federasi Serikat Pekerja (Histadrut) untuk “mematikan roda perekonomian” sebagai bentuk tekanan.
Ketua Partai Israel Beiteinu, Avigdor Lieberman, menuding Netanyahu akan terus mencoba menunda pemilu setiap kali survei menunjukkan peluang kekalahan.
“Ia telah melampaui semua garis merah,” kata Lieberman.