Israel kembali melangkah maju dalam rencananya mencaplok wilayah pendudukan Tepi Barat setelah Knesset, parlemen negara itu, memberikan dukungan terhadap sebuah rancangan undang-undang yang diajukan oleh anggota koalisi kanan.
Meskipun tidak bersifat mengikat dan belum menjadi hukum yang berlaku, pemungutan suara ini memiliki bobot politik yang besar, terutama dalam konteks waktu dan pesan yang hendak disampaikan.
Rancangan undang-undang ini sejatinya bukan instrumen hukum yang memaksa pemerintah Israel, yang merupakan satu-satunya otoritas yang berwenang mencaplok wilayah pendudukan seperti Tepi Barat dan Lembah Yordan.
Namun, para pengamat menilai langkah ini merupakan deklarasi politik terbuka yang merefleksikan arah kebijakan pemerintahan sayap kanan yang dipimpin oleh Benjamin Netanyahu.
Menurut pengamat urusan Israel, Muhannad Mustafa, sinyal pencaplokan ini bukan hal yang baru.
Ia menyebut bahwa jauh sebelum perang di Gaza meletus, Israel telah mengadopsi serangkaian keputusan dan undang-undang yang membentuk kerangka hukum pencaplokan.
Termasuk melalui ekspansi permukiman ilegal, perampasan tanah, dan pengusiran paksa warga Palestina dari wilayah Tepi Barat.
Dalam wawancara dengan program Behind the News, Mustafa mencatat bahwa hingga sebelum perang, setidaknya 22 undang-undang telah disahkan untuk memperkuat pijakan hukum pencaplokan.
Salah satu yang paling mencolok adalah pembatalan Undang-Undang Pemisahan dari Jalur Gaza dan bagian utara Tepi Barat.
Selain itu, pemerintahan Netanyahu juga disebut mengandalkan kelompok bersenjata pemukim yang kerap melakukan kekerasan terhadap warga Palestina, menciptakan tekanan harian yang berkelanjutan.
Dipercepat oleh perang
Langkah-langkah ini, menurut Mustafa, kini telah memasuki tahap akhir. Perang di Gaza mempercepat proses itu.
Kelompok sayap kanan di Israel memperkirakan bahwa waktu yang tepat untuk mencaplok Tepi Barat secara resmi akan datang ketika proses pengusiran besar-besaran warga Gaza selesai.
Mereka juga berharap momentum tersebut bertepatan dengan terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS).
Sementara itu, Hamas mengecam pemungutan suara di Knesset sebagai langkah yang batal demi hukum dan bertentangan dengan seluruh prinsip hukum dan resolusi internasional.
Dalam pernyataannya, Hamas menyerukan kepada rakyat Palestina di Tepi Barat untuk bersatu dan meningkatkan perlawanan dalam segala bentuknya.
Hamas juga mendesak masyarakat internasional dan PBB untuk mengecam langkah Israel dan menghentikan kebijakan agresifnya.
Kelanjutan dari pembantaian di Gaza
Menurut Sekretaris Jenderal Inisiatif Nasional Palestina, Mustafa Barghouti, dukungan Knesset terhadap pencaplokan Tepi Barat merupakan bagian dari proyek sistematis yang tak terpisahkan dari perang pemusnahan terhadap Gaza.
Ia menyinggung sejumlah undang-undang sebelumnya yang memperkuat agenda kolonial Israel, termasuk Undang-Undang Negara Bangsa Yahudi yang menetapkan bahwa hanya orang Yahudi yang memiliki hak menentukan nasib di Palestina historis.
Selain itu, ada pula undang-undang yang secara eksplisit menolak berdirinya negara Palestina dan mengatur aneksasi serta Yahudisasi kota Yerusalem.
Menurut Barghouti, proyek zionisme kini tengah mengulang skenario 1948, namun dengan cara dan pendekatan baru, demi menguasai seluruh wilayah Palestina.
Israel, ujarnya, telah menjadi negara dengan ciri-ciri fasis dan tidak menyisakan ruang untuk kompromi politik.
Dalam konteks ini, perjanjian Oslo tidak lagi relevan, dan solusi dua negara kian jauh dari kenyataan.
Ia menambahkan bahwa perkembangan terbaru ini merupakan kelanjutan dari langkah-langkah yang diambil oleh pemerintahan Trump.
Termasuk pengakuan atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel, pemindahan kedutaan besar AS ke kota tersebut, serta penghapusan konsulat AS yang sebelumnya melayani urusan Palestina. Semuanya bagian dari apa yang disebut sebagai “Deal of the Century”.
Siapa yang bisa menghentikan Israel?
Tanpa sanksi internasional, Israel merasa tidak perlu peduli terhadap kecaman dari Barat—kecuali dari AS.
Namun, menurut Mustafa, Israel sangat memperhitungkan reaksi dunia Arab, terutama jika disertai dengan langkah-langkah konkret dan tegas.
Barghouti sendiri menganggap bahwa kebergantungan Barat pada solusi dua negara sudah tidak bermakna lagi tanpa adanya tekanan nyata kepada Israel, yang terus melakukan kejahatan berupa genosida, blokade kelaparan, pencaplokan, dan ekspansi permukiman.
Karena itu, menurutnya, situasi ini menuntut adanya evaluasi total dari pihak Palestina, termasuk penghentian semua bentuk normalisasi dan pemutusan hubungan dengan Israel.
Ia menegaskan bahwa “ilusi kompromi dengan Zionisme” telah runtuh, dan AS tidak bisa lagi dianggap sebagai mediator yang netral.