Monday, August 11, 2025
HomeBeritaANALISIS - Apakah tekanan internasional akan membuat Netanyahu mundur dari rencana caplok...

ANALISIS – Apakah tekanan internasional akan membuat Netanyahu mundur dari rencana caplok Gaza?

Sejak kabinet keamanan Israel (kabinett) menyetujui rencana Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk menguasai sepenuhnya Jalur Gaza, pertanyaan pun bergulir: sanggupkah militer Israel mewujudkannya?

Persetujuan ini diambil di tengah perbedaan pendapat yang tajam dan terbuka antara kalangan politik dan militer Israel.

Netanyahu—yang kini berstatus buronan Mahkamah Pidana Internasional atas tuduhan melakukan genosida di Gaza—bersama menteri-menteri sayap kanan mendorong agresif skenario ini. Rencananya lolos setelah perdebatan maraton lebih dari sepuluh jam di kabinet.

Keputusan itu menempatkan institusi keamanan pada posisi sulit: menjalankan perintah atau menghadapi risiko pencopotan.

Menteri Pertahanan Israel Katz dan Kepala Staf Eyal Zamir kini disebut-sebut mencari cara menerapkan visi Netanyahu yang dituangkan dalam 5 prinsip.

Yaitu, melucuti senjata Hamas, memulangkan semua sandera—baik yang hidup maupun yang telah meninggal—melucuti Gaza dari seluruh persenjataan, menegakkan kendali keamanan Israel di wilayah itu, serta membentuk pemerintahan sipil yang tidak berada di bawah Hamas maupun Otoritas Palestina.

Meski menuai gelombang kritik internasional, Pemerintah Netanyahu justru menuding negara-negara yang menentang sebagai pihak yang “memberi hadiah” kepada Hamas.

Perbedaan pandangan antara Tel Aviv dan masyarakat internasional kian lebar, kendati Israel masih mengandalkan dukungan terkuat—dan nyaris satu-satunya—dari Amerika Serikat.

Bagi militer Israel, situasi ini menambah beban yang sudah berat. Mereka menghadapi kelelahan pasukan, kerusakan tank dan peralatan berat setelah hampir 2 tahun perang, serta peringatan dari kalangan internal bahwa menguasai Gaza sepenuhnya bisa menjadi “jebakan taktis” berisiko tinggi.

Ironisnya, keputusan kabinet diambil tanpa rencana operasi yang jelas. Baru setelah itu Kepala Staf memulai konsultasi dengan para komandan untuk menyusun langkah ke depan—bukan sebaliknya.

Tekanan dari luar negeri

Operasi terbaru Israel di Gaza—yang bahkan belum diberi nama resmi seperti operasi sebelumnya, terakhir bertajuk Arbaot Gideon—dinilai banyak pengamat sebagai langkah paling berisiko sejak perang dimulai.

Alasannya bukan hanya peringatan dari politisi dan perwira militer Israel mengenai potensi meningkatnya korban di pihak tentara dan bahaya bagi sandera yang masih tersisa, tetapi juga perubahan sikap nyata dari berbagai negara yang mulai mengambil langkah konkret melampaui sekadar kecaman.

Di Jerman, Kanselir Friedrich Merz mengumumkan penangguhan pemberian izin baru ekspor senjata yang berpotensi digunakan di Gaza.

Berlin bahkan membuka kemungkinan menunda pengiriman senjata dari kontrak yang sudah disepakati sebelumnya jika dikhawatirkan akan digunakan dalam operasi di wilayah tersebut.

Langkah ini diambil di tengah tekanan politik dalam negeri dan peringatan keras agar Israel tidak mencoba kembali menguasai Gaza atau mencaplok wilayah Tepi Barat.

Belanda juga mengumumkan pencabutan tiga lisensi ekspor komponen kapal perang ke Israel.

Keputusan itu diambil karena memburuknya situasi di Gaza dan risiko “penggunaan yang tidak diinginkan”.

Bersamaan dengan itu, parlemen Belanda menggelar sidang darurat untuk membahas larangan penuh ekspor senjata, pemberlakuan sanksi yang lebih luas, dan pengakuan resmi terhadap Negara Palestina.

Sementara itu, Belgia memanggil Duta Besar Israel di Brussel sebagai bentuk protes terhadap rencana penguasaan penuh Gaza—yang oleh media Israel disebut sebagai “pendudukan kembali”.

Dalam pernyataannya, pemerintah Belgia menegaskan dukungan pada solusi dua negara dan menyampaikan pandangan bahwa tujuan menghapus Hamas tidak bisa dijadikan pembenaran untuk operasi militer yang “tidak proporsional” dan hanya memperburuk penderitaan warga sipil Palestina.

Dari London, Perdana Menteri Keir Starmer kembali melontarkan kritik terhadap Israel, hanya sehari setelah pemerintahnya mengumumkan rencana mengakui Palestina bulan depan.

Starmer menilai bahwa rencana Netanyahu tidak akan menghentikan perang atau menjamin pembebasan sandera, melainkan justru memperpanjang pertumpahan darah.

Rangkaian sikap internasional ini mulai terasa dampaknya di Israel. Harian Yedioth Ahronoth melaporkan kekhawatiran militer akan potensi boikot global terhadap pengadaan senjata dan perlengkapan industri pertahanan.

Kebingungan di Tel Aviv

Di tengah dorongan untuk menguasai Gaza sepenuhnya—dengan target-target yang gagal dicapai selama 22 bulan perang—pemerintah Israel tampak tidak solid. Perbedaan data dan pernyataan muncul di media.

Radio militer melaporkan Menteri Pertahanan berencana memanggil 430.000 tentara dalam tiga bulan ke depan.

Lembaga penyiaran publik mengutip Kepala Staf yang memperkirakan perlu 200.000 pasukan cadangan, sementara kanal televisi lain menyebut 250.000 surat panggilan akan dikirim.

Pengamat menilai bahwa kompleksitas situasi—baik di dalam negeri maupun di panggung internasional—membuat sebagian pejabat Israel mungkin mulai mempertimbangkan langkah mundur.

Kemungkinan itu, menurut mereka, akan bergantung pada apakah ada tawaran kesepakatan pertukaran sandera atau ajakan dari Hamas untuk kembali ke meja perundingan, sebagaimana disampaikan Ketua Partai Shas, Aryeh Deri.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular