Wednesday, July 30, 2025
HomeBeritaANALISIS - Bantuan atau manipulasi? Membaca taktik Israel di Langit Gaza

ANALISIS – Bantuan atau manipulasi? Membaca taktik Israel di Langit Gaza

Ketika tayangan udara memperlihatkan bantuan kemanusiaan dijatuhkan dari langit menuju Gaza, dunia seolah sedang menyaksikan kepedulian global yang bergerak.

Namun di balik gambar dramatis itu, terbentang jurang antara diplomasi yang diklaim humaniter dan realitas rakyat Gaza yang dikepung kelaparan serta kematian.

Inilah paradoks yang mengemuka dalam konflik Gaza. “Diplomasi kemanusiaan” yang seharusnya menjadi sarana penyelamatan, kini justru menjelma alat perpanjangan penderitaan.

Pemerintah Israel, sebagaimana dianalisis pengamat politik Ahmed Al-Hilah dalam program Masar al-Ahdats di Al Jazeera, tidak benar-benar berupaya meringankan beban rakyat Gaza.

Sebaliknya, mereka memanfaatkan siasat bantuan udara sebagai propaganda untuk meredakan tekanan global dan mengaburkan tudingan kejahatan genosida.

Pola semacam ini mengesankan bahwa bantuan bukan lagi tujuan, melainkan instrumen.

Bantuan udara, meskipun dilakukan di hadapan dunia, tak lebih dari “setetes air di padang tandus” bagi Gaza yang setiap hari membutuhkan ratusan truk logistik, bukan sekadar paket-paket kecil yang jatuh di wilayah yang masih diawasi militer Israel.

Menurut Al-Hilah, pendekatan Israel tak bisa dinilai dari volume bantuan, tetapi dari niat di baliknya.

Alih-alih membuka jalur darat dan membiarkan PBB menjalankan distribusi secara efisien, Tel Aviv lebih memilih manuver simbolik agar tetap dapat melanjutkan perang sambil menangkis kritik internasional.

Analis urusan Israel, Dr. Bilal al-Shubaki, menambahkan bahwa Israel kini memainkan “gambar lawan gambar”.

Bila dunia tersentak oleh potret anak-anak kurus kering karena kelaparan, maka Israel merespons dengan potret bantuan dari udara.

Namun, di balik simbolisme itu, tersimpan pesan politik: Israel masih memegang kendali, dan hanya bersedia bicara dengan Hamas sebatas isu pertukaran tahanan—bukan soal mengakhiri blokade atau menyelamatkan warga sipil.

Taktik, bukan simpati

Dengan demikian, bantuan menjadi taktik yang digunakan saat tekanan internasional memuncak, dan dihentikan begitu tekanan mereda.

Tidak hanya Israel yang mempertontonkan standar ganda, melainkan juga Amerika Serikat (AS), khususnya di bawah Presiden Donald Trump.

Trump sempat menyatakan “keprihatinan” atas kelaparan di Gaza, namun tak pernah mengambil langkah nyata untuk memudahkan masuknya bantuan.

Mantan duta besar AS, Peter Galbraith, bahkan menilai pendekatan Washington sebagai tidak konsisten dan membingungkan: kadang mengingkari adanya kelaparan, kadang menuntut solusinya, padahal realitas di lapangan menunjukkan penderitaan yang terus berlangsung.

Galbraith juga menyoroti bahwa menjatuhkan bantuan dari udara adalah metode yang tidak efektif, bahkan cenderung sia-sia, jika dibandingkan dengan tumpukan bantuan yang terjebak di balik gerbang-gerbang perbatasan yang ditutup.

Ia menyalahkan Israel atas makin rumitnya krisis kemanusiaan akibat penolakannya bekerja sama dengan PBB dan pelarangan terhadap masuknya pejabat kemanusiaan ke Gaza.

Lebih jauh, ia mengkritik sikap Amerika yang bersikeras agar pengelolaan bantuan tetap berada di luar kendali PBB.

Sebuah indikasi adanya koalisi terselubung antara Washington dan Tel Aviv dalam menjadikan kelaparan sebagai alat tawar-menawar politik.

Perpecahan internal yang semakin dalam

Namun di tengah kegelapan ini, muncul sinyal perubahan dari Barat. Menurut Al-Shubaki, gambar-gambar memilukan dari Gaza mulai membentuk opini publik yang stabil dan tidak lagi mudah terlupakan.

Ini berpotensi memengaruhi pembentukan elite politik baru di negara-negara yang selama ini menjadi pendukung utama Israel.

Sayangnya, perubahan ini belum diiringi dengan konsolidasi politik dari pihak Palestina dan negara-negara Arab yang bisa mendorong tekanan diplomatik yang lebih terorganisir di panggung internasional.

Laporan dari lembaga hak asasi manusia, termasuk dari dalam Israel seperti B’Tselem, kini mulai menyebut tragedi di Gaza sebagai bentuk genosida.

Ini mencerminkan retaknya konsensus internal Israel mengenai legitimasi moral dari perang yang sedang berlangsung.

Menurut Galbraith, pengakuan semacam itu memiliki bobot moral tinggi dan memperlemah narasi resmi pemerintah Israel.

Namun hingga kini, keadilan internasional masih berada di posisi penonton. Meskipun Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah menerbitkan surat penangkapan untuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanannya, belum ada langkah konkret untuk mengeksekusinya.

Menurut Al-Hilah, kegagalan itu tak lepas dari dukungan politik Amerika Serikat yang memberikan semacam kekebalan hukum kepada Israel.

Bahkan Kongres AS berupaya menetapkan sanksi terhadap hakim-hakim ICC—suatu kemunduran dari prinsip-prinsip keadilan universal.

Kini, pertanyaan mendasar kembali mencuat: Apakah bantuan benar-benar bertujuan menyelamatkan warga sipil, atau hanya menjadi kedok untuk memperpanjang pembantaian?

Menurut Al-Shubaki, elite penguasa di Israel tidak terlalu peduli pada citra moral mereka. Bagi mereka, “tujuan perang” membenarkan segala cara—termasuk memanipulasi kelaparan sebagai strategi politik.

Dengan demikian, diplomasi kemanusiaan bukan lagi cermin komitmen etis dan hukum, tetapi telah beralih menjadi instrumen lunak dalam mendukung agenda militer yang terus menggiling Gaza hingga ke dasar.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular