Malam itu, selepas salat Isya, Syukri Millitat, seorang lelaki lanjut usia, duduk bersama para jamaah di pelataran Masjid Bayt al-Syaikh (Rumah Syekh) di Khirbet Tana —sebuah dusun kecil di dekat Beit Furik, Kota Nablus, Tepi Barat bagian utara.
Mereka berbincang ringan seperti biasa, ketika tiba-tiba suara tembakan memecah keheningan.
Pelakunya adalah pemukim ekstremis yang dikenal dengan nama “Kobi”, bersama beberapa orang lain.
Mereka menembak secara membabi buta, nyaris menewaskan seluruh jamaah malam itu.
“Itu momen yang paling menakutkan dalam hidup kami. Kami baru saja selesai berdoa, lalu peluru menghujani kami. Kami tiarap di tanah, tak berdaya,” kenang Millitat.
Serangan itu bukan kejadian pertama. Dalam beberapa tahun terakhir, rumah-rumah penduduk Tana, satu-satunya sekolah, jalan, hingga jaringan listrik dan air berkali-kali dihancurkan.
Bahkan gua-gua yang menjadi tempat perlindungan warga pun tak luput dari pengusiran.
Malam penuh kekerasan
Namun Masjid Bayt al-Syaikh tetap berdiri. Ia menjadi benteng terakhir bagi penduduk Tana untuk mempertahankan keberadaan mereka di tanah leluhur.
Tempat itu kini menjadi satu-satunya titik yang masih diizinkan oleh otoritas Israel untuk dikunjungi warga—dan itu pun hanya untuk beribadah.
Millitat menggambarkan serangan terakhir itu sebagai yang “paling berbahaya” di antara rangkaian pelanggaran yang terus terjadi.
“Kobi dan anak-anaknya menyerang kami, menembaki kami dengan peluru tajam. Setelah itu mereka mengancam kami agar tidak bergerak sampai pasukan Israel datang,” ujarnya kepada Al Jazeera Net.
Ketika tentara Israel tiba, mereka bukan menenangkan keadaan, melainkan ikut menembaki warga. Para jamaah dipukul dengan gagang senapan dan ditendang tanpa ampun.
Mereka ditahan hingga pukul dua dini hari, sementara para pemukim remaja dengan pongah memotret para jamaah yang tergeletak di tanah dalam posisi memalukan.
“Salah satu tentara menarik kepala saya ke belakang dengan kasar, dua lainnya mencoba mematahkan punggung saya. Sampai sekarang, rasa sakitnya belum hilang,” tutur Millitat dengan suara bergetar.
Menjelang subuh, mereka akhirnya dilepaskan, dengan syarat segera meninggalkan tempat itu.
Namun, saat hendak pulang, mereka mendapati dua telepon genggam telah dicuri, dan seorang pemuda ditangkap serta dibawa ke permukiman ilegal Itamar.
Ia baru dibebaskan beberapa jam kemudian setelah mengalami pemukulan brutal.
Alih-alih takut, warga justru semakin teguh. Mereka kembali ke Bayt al-Syaikh, beribadah di sana, dan menjaga tempat itu sebagai simbol perlawanan damai mereka.
Upaya sistematis untuk mengusir
Bangunan Bayt al-Syaikh sudah ada sejak masa Kesultanan Utsmaniyah, berusia lebih dari dua abad.
Selama itu pula ia menjadi “pasak” yang meneguhkan warga Tana agar tak meninggalkan tanah mereka.
Setelah Israel menduduki Tepi Barat pada 1967, desa ini menjadi target pengusiran berulang.
Desa Tana, yang dahulu dihuni lebih dari 400 jiwa, telah dihancurkan setidaknya 13 kali, terutama dalam dua dekade terakhir—terakhir setelah serangan 7 Oktober 2023.
Menurut Tsair Hannani, koordinator kampanye rakyat untuk mempertahankan Tana, Israel menerapkan berbagai cara untuk memaksa warga pergi, di antaranya:
- Menguasai sumber-sumber air.
- Menangkap, memukul, dan menakut-nakuti warga.
- Menghancurkan satu-satunya sekolah desa berkali-kali.
- Merusak infrastruktur dasar seperti listrik dan jalan.
- Menghancurkan rumah dan kandang ternak.
- Meracuni dan mencuri hewan peliharaan.
- Mengambil alih padang gembalaan.
Namun warga tetap bertahan. Sampai Januari 2025, sepuluh keluarga terakhir—sekitar 50 orang—masih tinggal di Tana.
Hingga pada suatu malam, pemukim bersenjata menyerang dan menembaki mereka, memaksa seluruh warga meninggalkan kampung halaman.
Doa sebagai benteng harapan
Bagi warga yang terusir, Bayt al-Syaikh menjadi satu-satunya penghubung dengan tanah mereka.
Di tempat itu mereka salat, berzikir, dan merasa tetap memiliki Tana.
“Dulu orang-orang berkumpul di sini setelah rumah mereka dihancurkan. Lalu menjadi tempat belajar anak-anak, dan akhirnya menjadi masjid. Sekarang, masjid ini menjadi saksi atas hak kami di tanah ini,” ujar Hannani.
Karena bangunan itu sudah ada sebelum pendudukan 1967, Israel tidak bisa semudah itu menghancurkannya.
Warga lalu menjadikannya pusat kegiatan keagamaan dan simbol keberlanjutan desa.
Pada 2020, mereka membentuk Kampanye Rakyat untuk Membela Tana, yang berinisiatif memperbaiki dan merawat masjid tersebut.
Mereka membawa mushaf, buku-buku agama, bahkan menugaskan khatib dan imam untuk memimpin salat.
“Kami ingin Bayt al-Syaikh tetap tegak menghadapi kolonisasi dan upaya Yahudisasi,” kata Hannani.
Namun serangan tetap datang. Para pemukim kerap menyerbu masjid, merusak isinya, dan menganiaya jamaah.
“Mereka membakar Al-Qur’an, menghancurkan mimbar, dan menjarah perabotan. Mereka ingin kami takut, tapi kami terus kembali, berdoa, dan menjaga keislaman tempat ini,” ujar Hannani.
Menghapus jejak Palestina
Dengan menguasai Tana, Israel kini mengendalikan seluruh 18 ribu dunam (sekitar 18 juta meter persegi) tanah desa itu.
Langkah ini juga memutus keterhubungan Tana dengan Beit Furik, yang dikelilingi permukiman dan berisiko berubah menjadi “penjara besar”.
Lebih jauh, Israel ingin memutus hubungan geografis Tana dengan wilayah Lembah Yordan—sumber pangan utama warga Nablus.
Padahal, ladang dan padang rumput Tana dulunya mampu mencukupi kebutuhan gandum dan jelai seluruh kabupaten.
Akibat pengusiran, populasi ternak yang dulunya mencapai lebih dari 10 ribu ekor kambing dan 500 sapi kini menyusut drastis: hanya tersisa sekitar 3 ribu kambing dan 50 sapi.
Dengan perampasan tanah seluas itu, ribuan warga kehilangan satu-satunya tujuan wisata alam mereka—yang dulunya terkenal karena mata air dan kolam peninggalan Romawi.
38 ribu serangan dalam setahun
Apa yang terjadi di Tana hanyalah bagian dari pola yang sama di seluruh Tepi Barat.
Desa-desa seperti Yanun, al-Tuwil, al-Fajm, dan Duma di timur dan selatan Nablus juga mengalami nasib serupa: serangan pemukim, penghancuran rumah, dan pengusiran massal.
Menurut laporan resmi Badan Tembok dan Permukiman Palestina awal Oktober ini, sejak pecahnya perang di Gaza pada 7 Oktober 2023, para pemukim telah melakukan 38.359 serangan terhadap warga, lahan, dan properti di Tepi Barat.
Akibatnya, 33 komunitas Badui yang terdiri dari 455 keluarga (2.853 jiwa) telah diusir dari tempat tinggal mereka.
Kini, warga hanya diperbolehkan memasuki Tana untuk salat di Masjid Bayt al-Syaikh, dan itu pun hanya setiap Jumat.
Tetapi mereka menolak menyerah. Mereka tetap datang kapan pun bisa, menegakkan salat di sana.
Bukan sekadar ibadah, tetapi juga bentuk ribat: perlawanan tanpa kekerasan, pengakuan atas tanah, dan peneguhan identitas yang tak tergantikan.

