Sunday, November 2, 2025
HomeBeritaDibangun Arafat 1994, warga kota Zahra tangisi rumah dan kenangan mereka

Dibangun Arafat 1994, warga kota Zahra tangisi rumah dan kenangan mereka

Dengan suara parau yang diselimuti tangis, warga Kota Zahra di ujung utara Jalur Gaza mengenang rumah, kenangan, dan kehidupan mereka yang dihapus sepenuhnya oleh perang terakhir.

Kota kecil itu—yang dibangun oleh Presiden Palestina kala itu, Yasser Arafat, pada 1994 tak lama setelah otoritas Palestina kembali ke Gaza—menjadi salah satu wilayah pertama yang hancur akibat serangan Israel di awal perang.

Sejak itu, Zahra berubah menjadi kota hantu: kosong tanpa penduduk, reruntuhannya membisu selama dua tahun penuh.

Kini, setelah gencatan senjata diberlakukan, sebagian warga mulai kembali. Pemerintah Kota Gaza membangun tenda-tenda sementara bagi para pengungsi yang bergegas pulang untuk sekadar mencari sisa kehidupan lama—meski hanya berupa album foto yang terselamatkan dari reruntuhan.

Dalam laporan Al Jazeera, seorang perempuan Palestina bercerita bahwa ia “merasa hidupnya kembali” ketika menemukan album foto lamanya di antara puing-puing rumah.

“Semua kenangan kami ada di sana,” ujarnya sambil menahan tangis.

Namun bagi banyak lainnya, luka itu terlalu dalam. Seorang pria berusia 60 tahun berdiri menatap bekas rumahnya, tempat yang pernah menjadi pusat kehidupannya.

“Kami tak akan pernah bisa menggantinya. Itu hasil kerja seumur hidup. Dan saya tak yakin masih hidup cukup lama untuk membangun ulang semuanya,” katanya lirih.

Ia menuduh bahwa Israel “menghancurkan Gaza demi menelan seluruh Palestina.”

Rumah-rumah itu, tegasnya, bukan milik kelompok perlawanan.

“Ribuan perempuan dan anak-anak yang tewas bukan anggota Hamas. Mereka hanyalah warga Palestina yang sengaja dibunuh,” ujarnya.

Istrinya mengenang hari kelam 19 Oktober 2023, ketika serangan udara menggempur Zahra selama 12 jam tanpa henti.

“Saya merasa seolah roket-roket itu menghantam tubuh saya sendiri, bukan hanya kota,” katanya dengan suara bergetar.

Kini, ia kehilangan bukan hanya rumah, tetapi juga arah hidup.

“Kami tak tahu harus tinggal di mana lagi. Semua sudah hilang,” ujarnya lirih.

Kesedihan itu bukan hanya soal bangunan yang lenyap.

“Kami berduka bukan hanya atas rumah kami, tapi atas kota kami. Namun, insya Allah, kami akan membangunnya kembali,” ucap seorang perempuan lain.

Di tengah reruntuhan dan kesunyian yang masih menyelimuti Zahra, seorang pejabat kota menyerukan bantuan kepada lembaga-lembaga kemanusiaan internasional.

Tujuannya, untuk menyediakan tempat penampungan layak bagi warga yang telah kembali ke tanah kelahiran mereka—tanah yang kini lebih menyerupai bayangan masa lalu.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler