Saturday, November 1, 2025
HomeBeritaDokter Norwegia: Apa yang saya saksikan di Gaza lebih mengerikan dari film...

Dokter Norwegia: Apa yang saya saksikan di Gaza lebih mengerikan dari film horor

Seorang dokter asal Norwegia keturunan Turki, Nilufer Ikiz, menggambarkan pengalamannya di Jalur Gaza sebagai sesuatu yang jauh lebih mengerikan dari film horor mana pun.

Dalam kesaksiannya kepada kantor berita Anadolu, ia mengatakan kondisi kemanusiaan di wilayah itu tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, dan akan terus terpatri dalam ingatannya sepanjang hidup.

Ikiz bertugas di Rumah Sakit Nasser di Kota Khan Younis pada September lalu, sebagai bagian dari misi medis lembaga kemanusiaan asal Norwegia.

Ia dan tim kecilnya yang terdiri dari empat orang berhasil masuk ke Gaza setelah proses koordinasi yang panjang dan berliku.

“Begitu kami melintasi perbatasan, yang terlihat hanyalah rumah-rumah rata dengan tanah, mobil-mobil hancur, dan puing di setiap sudut. Anak-anak berlari ke arah kami sambil menunjuk mulut mereka dan berkata mereka lapar. Tidak ada bangunan yang masih utuh—semuanya hancur,” tuturnya.

Rumah sakit penuh sesak

Rumah Sakit Nasser, kata Ikiz, seharusnya hanya menampung sekitar 340 pasien. Namun saat itu, lebih dari 800 orang berdesakan di dalamnya.

“Banyak yang tidur di lantai, di lorong, bahkan di tangga dan depan lift. Sebagian besar adalah korban tembakan, ledakan, atau serpihan bom. Sementara pasien penyakit kronis seperti jantung dan diabetes meninggal di tenda-tenda tanpa mendapat pengobatan,” ujarnya.

Kekurangan obat-obatan dan perlengkapan medis begitu parah.

“Obat bius dasar saja tidak tersedia. Bahkan obat pereda nyeri ringan seperti parasetamol hampir tidak ada. Setelah operasi, banyak pasien menjerit kesakitan karena tak ada obat yang bisa meringankan rasa sakit mereka,” katanya.

Karena kepadatan yang luar biasa, tenaga medis terpaksa memulangkan sebagian pasien ke tenda mereka meski masih membutuhkan perawatan intensif.

Sepertiga korban adalah anak-anak

Dari seorang dokter forensik di Gaza, Ikiz mendapat keterangan bahwa sekitar 30 persen korban jiwa adalah anak-anak.

Ia masih teringat seorang bayi berusia enam hari yang tertembak di dada hingga pelurunya menembus perut.

“Kami mencoba menyelamatkannya melalui operasi, tapi ia tak bertahan,” ucapnya lirih.

Banyak korban luka, katanya, adalah warga yang sedang mengantre bantuan makanan.

“Saksi mata mengatakan pasukan Israel sengaja menargetkan titik-titik distribusi bantuan itu,” tambahnya.

Di ruang perawatan intensif, Ikiz melihat anak-anak berusia tiga, lima, dan tujuh tahun dengan luka tembak di kepala, juga remaja dengan cedera parah.

“Sebagian besar luka sulit sembuh karena kekurangan gizi dan infeksi yang merajalela. Kami harus berulang kali melakukan operasi,” ujarnya.

Dokter suntik diri agar tetap bekerja

Kondisi para tenaga medis pun tak kalah menyedihkan. Menurut Ikiz, banyak dokter dan perawat tinggal di tenda-tenda dekat rumah sakit, kehilangan berat badan hingga 20 kilogram karena lapar dan kekurangan gizi.

“Mereka haus, lapar, dan kelelahan. Beberapa sampai menyuntikkan cairan infus ke tubuh sendiri agar tetap bisa bekerja. Banyak di antara mereka yang kehilangan keluarga dan anak-anaknya, namun tetap memilih membantu orang lain murni karena kemanusiaan,” ungkapnya.

Salah satu peristiwa yang paling membekas di ingatannya adalah ketika seorang ayah memohon agar ia membawa anak laki-lakinya yang berusia 12 tahun ke Norwegia untuk diselamatkan.

“Anak itu akhirnya meninggal beberapa hari kemudian,” katanya. “Perasaan tak berdaya seperti itu sungguh tak terlukiskan.”

Ketika ditanya apakah Israel sengaja menargetkan anak-anak, Ikiz menjawab hati-hati.

“Saya tidak melihatnya secara langsung. Namun ketika hampir sepertiga korban adalah anak-anak, sulit menyebutnya sebagai kebetulan. Itu bukan perang yang normal,” katanya.

Menutup kesaksiannya, Ikiz menyatakan niatnya untuk kembali ke Gaza awal tahun depan.

“Kita punya tanggung jawab untuk menceritakan apa yang kita lihat. Agar dunia tidak melupakan apa yang terjadi di sana,” ujarnya.

Sejak 7 Oktober 2023, Israel —dengan dukungan penuh Amerika Serikat (AS)— telah melancarkan aksi pembantaian massal di Gaza yang berlangsung selama dua tahun.

Serangan itu menewaskan lebih dari 68.600 warga Palestina dan melukai sekitar 170.000 orang lainnya, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Jalur Gaza kini menjadi puing besar—dan luka kemanusiaan yang belum sembuh.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler