Krisis kemanusiaan di Sudan terus memburuk seiring meluasnya pertempuran antara militer dan Rapid Support Forces (RSF).
Utusan khusus Presiden Amerika Serikat (AS) untuk urusan Afrika dan Timur Tengah, Masad Paulos, menyatakan pada Senin (3/11/2025) bahwa Washington sedang membahas kemungkinan gencatan senjata kemanusiaan dengan kedua pihak yang bertikai.
Ia menegaskan, “kekejaman yang terjadi di al-Fashir dalam beberapa hari terakhir benar-benar tidak dapat diterima.”
Sementara itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan bahwa puluhan ribu orang telah melarikan diri dari sedikitnya lima wilayah di Negara Bagian Kordofan Utara, setelah pertempuran semakin intens dan RSF merebut Kota al-Fashir pekan lalu.
Kelaparan di El-Fashpr
Kantor Kejaksaan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) memperingatkan bahwa laporan mengenai pembunuhan dan pemerkosaan massal yang dilakukan oleh RSF di al-Fashir.
Jika terbukti benar, dapat digolongkan sebagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan Statuta Roma.
Jaksa ICC Karim Khan mengatakan pihaknya memiliki yurisdiksi untuk menyelidiki kejahatan yang terjadi di Darfur sejak pecahnya perang pada April 2023.
Ia menegaskan bahwa pengumpulan bukti terkait dugaan kekejaman di al-Fashir akan dilakukan segera guna mendukung proses hukum di masa mendatang.
Khan juga menyerukan kepada individu maupun organisasi yang memiliki informasi atau bukti terkait peristiwa tersebut untuk segera menyerahkannya.
Di lapangan, sumber pemerintah Sudan melaporkan kepada Al Jazeera bahwa pesawat nirawak milik RSF menyerang desa al-Luwaib, di timur Kota al-Ubayyid—ibu kota Kordofan Utara—yang menewaskan dan melukai sejumlah warga sipil.
Serangan serupa juga dilaporkan terjadi di kota al-Rahd dan al-Ubayyid di wilayah yang sama, serta di dua kota di Darfur Utara, Kurnoi dan al-Tina.
Kelaparan dan krisis kemanusiaan
Di tengah kekerasan yang terus meningkat, situasi kemanusiaan semakin memburuk. Associated Press melaporkan bahwa Integrated Food Security Phase Classification (IPC) telah mencatat munculnya kelaparan di al-Fashir dan di Kota Kadugli, Negara Bagian Kordofan Selatan.
Setidaknya 20 wilayah di Darfur dan Kordofan kini berada dalam risiko kelaparan parah.
Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) menyatakan bahwa ribuan warga sipil di al-Fashir tidak diketahui nasibnya, dan lembaga kemanusiaan dilarang memasuki kota tersebut.
Jaringan Dokter Sudan menuduh RSF menahan ribuan warga sipil di dalam kota dan mencegah mereka meninggalkan wilayah itu.
Menurut laporan dari sumber lokal di Kota Thawila, barat al-Fashir, lebih dari 20.000 pengungsi baru tiba dalam beberapa hari terakhir setelah kota itu jatuh ke tangan RSF.
Arus pengungsian, kata sumber tersebut, masih terus berlanjut, sementara para pengungsi sangat kekurangan air, pangan, dan obat-obatan.
Juru bicara Palang Merah di Sudan mengatakan kepada Al Jazeera bahwa penderitaan warga meningkat setiap hari di tengah kekacauan militer yang semakin kompleks.
Ia menegaskan pentingnya membuka koridor kemanusiaan yang aman bagi warga yang ingin meninggalkan daerah perang.
Ia juga menuturkan bahwa Palang Merah sedang memperkuat operasi bantuan di Thawila—wilayah yang kini menampung gelombang pengungsi terbesar dari al-Fashir.
Koordinator kemanusiaan PBB untuk Sudan, Denise Brown, juga mengonfirmasi adanya laporan tentang eksekusi massal terhadap warga sipil tak bersenjata yang berusaha melarikan diri dari al-Fashir.
Ia menambahkan bahwa jumlah warga yang berhasil keluar dari kota telah menurun drastis, yang menunjukkan bahwa RSF kini memperketat pengepungan.
Menurut Brown, konvoi bantuan tidak diizinkan masuk, dan pasokan makanan maupun obat-obatan terhenti total.
“Sudah lebih dari 500 hari kami berusaha masuk ke al-Fashir, namun selalu gagal,” ujarnya.
Kendali teritorial dan ancaman pemecahan negara
Sejak merebut al-Fashir pada 26 Oktober lalu, RSF dituduh melakukan pembantaian terhadap warga sipil oleh berbagai lembaga lokal dan internasional.
Dengan jatuhnya kota strategis itu, pasukan RSF kini menguasai seluruh lima negara bagian di wilayah Darfur, kecuali sebagian kecil di utara Darfur Utara—meliputi Kurnoi, Umm Baru, dan al-Tina—yang masih dikuasai militer.
Sementara itu, Gerakan Pembebasan Sudan pimpinan Abdel Wahid al-Nur mengontrol beberapa daerah lain, termasuk Thawila yang kini menampung puluhan ribu pengungsi.
Militer Sudan sendiri tetap memegang kendali atas 13 dari total 18 negara bagian yang tersisa di selatan, utara, timur, dan tengah negeri itu, termasuk ibu kota Khartoum.
Namun, dengan semakin luasnya wilayah di bawah kendali RSF, para pengamat memperingatkan bahwa konflik yang berlangsung ini bisa berujung pada pembelahan de facto wilayah Sudan.
Selain itu, juga memperpanjang penderitaan rakyat yang terjebak di tengah perang dan kelaparan.

                                    