Wakil Kepala Biro Politik Hamas, Khalil al-Hayya, menyatakan bahwa Israel telah “gagal mencapai tujuannya” setelah dua tahun perang di Jalur Gaza. Dalam wawancara dengan Al Jazeera, al-Hayya menegaskan kesiapan Hamas untuk menyerahkan seluruh kendali administratif di Gaza, termasuk bidang keamanan, kepada otoritas baru.
Ia mengungkapkan adanya kesepahaman dengan faksi Fatah untuk menempatkan pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) guna memantau pelaksanaan gencatan senjata. Selain itu, Hamas juga mendukung penyelenggaraan pemilihan umum sebagai langkah menuju persatuan politik nasional Palestina.
Al-Hayya menegaskan komitmen Hamas terhadap gencatan senjata yang berlaku sejak berakhirnya perang dua tahun tersebut. “Presiden Trump telah mengatakan perang telah usai, dan setiap hari kami mendengar pernyataan Amerika yang menegaskan hal itu,” ujarnya.
Menurutnya, Hamas tidak akan memberikan alasan apa pun bagi Israel untuk kembali melakukan agresi. Dalam pertemuannya dengan utusan AS, Steve Witkoff dan Jared Kushner, al-Hayya menegaskan bahwa Hamas adalah “pendukung stabilitas” dan yakin Presiden Trump “mampu menahan tindakan Israel.”
Terkait pelaksanaan kesepakatan, Hamas disebut telah memenuhi tahap pertama dengan membebaskan 20 tawanan Israel dalam waktu 72 jam setelah gencatan senjata dimulai. “Kami telah menyerahkan 17 dari 28 jenazah tawanan Israel, dan pencarian sisanya masih berlangsung,” katanya. Ia menilai Israel belum kooperatif terkait data sejumlah tahanan.
Rencana Pemerintahan Gaza
Al-Hayya menyatakan kesiapan Hamas untuk menyerahkan pemerintahan Gaza sepenuhnya kepada komite administratif baru. “Kami tidak memiliki keberatan bila tokoh nasional mana pun yang tinggal di Gaza memimpin sektor ini,” ujarnya.
Menurut al-Hayya, Hamas dan Fatah telah mencapai kesepakatan untuk menempatkan pasukan PBB sebagai pengawas gencatan senjata. Semua faksi Palestina juga disebut menyetujui bahwa peran utama PBB adalah dalam proses rekonstruksi Gaza.
Tujuan akhirnya, kata dia, adalah penyatuan lembaga-lembaga Palestina dan pelaksanaan pemilu: “Kami ingin bergerak menuju pemilihan umum sebagai langkah menyatukan barisan nasional. Kami satu bangsa dan menginginkan satu pemerintahan serta satu otoritas.”
Isu Senjata dan Perlucutan
Menanggapi wacana perlucutan senjata yang menjadi bagian dari Trump Plan, al-Hayya menjelaskan bahwa isu tersebut “masih dalam pembahasan dengan faksi-faksi dan para mediator.” Ia menegaskan, “Senjata kami terkait dengan keberadaan pendudukan dan agresi. Bila pendudukan berakhir, senjata akan diserahkan kepada negara.”
Al-Hayya menuduh Israel melakukan pelanggaran yang mengancam kelangsungan gencatan senjata. “Pelanggaran ini membuat warga resah dan membahayakan kesepakatan,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya percepatan bantuan kemanusiaan. “Gaza membutuhkan 6.000 truk bantuan setiap hari, bukan hanya 600,” katanya, seraya menuding Israel masih membatasi pasokan seolah perang masih berlangsung.
Menutup pernyataannya, al-Hayya menyoroti kondisi di Tepi Barat yang menurutnya “masih berada di bawah kendali permukiman Israel,” dan menegaskan bahwa isu tahanan Palestina tetap menjadi prioritas nasional.

