Wednesday, October 29, 2025
HomeBeritaHarga perlawanan: Kisah empat pejuang Palestina dari balik penjara Israel

Harga perlawanan: Kisah empat pejuang Palestina dari balik penjara Israel

Setelah puluhan tahun merasakan dinginnya dinding penjara Israel, puluhan tahanan Palestina yang dijatuhi hukuman seumur hidup akhirnya mencium aroma kebebasan.

Wajah-wajah mereka menua di balik jeruji, namun semangat perlawanan tetap menyala—mereka menjadikan setiap tahun di penjara sebagai babak perjuangan baru demi martabat dan tanah air.

Di antara para tahanan yang akhirnya bebas, terdapat empat sosok yang kisahnya menggambarkan penderitaan, ketabahan, dan harapan yang tak padam: Samir Abu Na‘mah, Mahmud Isa, Bahir Badr, dan Muhammad Abu Tubaykh.

Keempatnya kini bernafas bebas setelah dipindahkan ke Mesir, sebelum menuju Gaza.

Namun kebebasan mereka tidak datang tanpa luka. Garis kelelahan tampak jelas di wajah-wajah mereka, menyimpan tahun-tahun kehilangan yang tak tergantikan.

Mereka keluar dari penjara Israel, tetapi meninggalkan di balik tembok besi ratusan rekan seperjuangan yang masih menanti giliran untuk bebas.

Samir Abu Na‘mah: Sang “sesepuh tahanan”

Ketika ditangkap pada tahun 1986, Samir Abu Na‘mah baru berusia 26 tahun. Lulusan sarjana manajemen perhotelan itu adalah anggota aktif gerakan Fatah.

Ia tergabung dalam sel militer yang melancarkan serangkaian serangan terhadap pasukan Israel, termasuk aksi peledakan bus di Jaffa.

Setelah penyelidikan keras di pusat interogasi Maskubiya, Yerusalem, ia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

Tahun demi tahun berlalu dalam berbagai penjara Israel, diwarnai aksi mogok makan dan perlawanan tahanan.

Dalam penjara, Abu Na‘mah menjalani 6 operasi akibat penyakit kronis, namun permohonan pembebasannya selalu ditolak.

Padahal ia termasuk kelompok tahanan yang ditangkap sebelum perjanjian Oslo tahun 1993.

Tragedi terbesar hidupnya terjadi di balik jeruji: ia kehilangan ibu dan tiga saudaranya tanpa sempat melihat atau memeluk mereka untuk terakhir kalinya.

Pada 2016, saudaranya, Walid, meninggal dunia malam sebelum ia dijadwalkan mengunjungi Samir di penjara.

Ibu mereka terus menunggu kepulangannya hingga akhir hayat. Baru kini, setelah 39 tahun, penantiannya terjawab.

Mahmud Isa: Komandan unit khusus dan cendekiawan penjara

Bagi banyak tahanan, Mahmud Musa Isa bukan hanya pejuang, tetapi juga guru dan pemikir.

Lahir di Anata, Yerusalem, pada 21 Mei 1968, ia tumbuh di lingkungan religius dan bergabung dengan Brigade al-Qassam, sayap militer Hamas, pada masa-masa awal pendiriannya.

Isa mendirikan unit pertama di Yerusalem yang dikenal dengan nama “Unit Khusus 101”, yang bertugas menculik tentara Israel untuk ditukar dengan tahanan Palestina.

Pada Desember 1992, unit ini menculik seorang prajurit Israel bernama Nissim Toledano dekat kota Lod, dalam operasi yang diberi nama “Kesetiaan untuk Syekh Ahmad Yasin.”

Tujuan utamanya: menukar sang prajurit dengan pendiri Hamas yang saat itu masih dipenjara.

Namun rencana itu gagal setelah Israel menemukan jasad sang prajurit, memicu gelombang besar penangkapan di Tepi Barat dan Jalur Gaza, serta pengasingan ratusan tokoh Hamas dan Jihad Islam ke Marj al-Zuhur, Lebanon.

Isa terus melanjutkan perlawanan hingga akhirnya ditangkap pada Juni 1993 setelah berbulan-bulan diburu.

Ia dijatuhi hukuman 3 kali seumur hidup plus 46 tahun dan menghabiskan 13 tahun dalam sel isolasi, tanpa pernah diizinkan bertemu keluarga.

Meski begitu, penjara tak menghentikan langkah intelektualnya. Isa menulis sejumlah buku dan kajian yang membahas politik, agama, dan budaya.

Dari balik jeruji, ia menjelma menjadi simbol “intelektual perlawanan” yang menolak tunduk pada keterbatasan fisik.

Bahir Badr: Pengantin yang tak pernah menikah

Bagi keluarga Badr, Juli 2004 seharusnya menjadi bulan kebahagiaan. Persiapan pernikahan Bahir tengah berlangsung di rumah keluarga mereka di kota Ramla.

Namun beberapa hari sebelum hari bahagia itu tiba, tentara Israel menyerbu rumah saudaranya dan menahannya.

Setelah interogasi panjang selama empat bulan, pengadilan menjatuhkan hukuman 12 kali seumur hidup, dengan tuduhan membantu operasi militer Brigade al-Qassam.

Nasib serupa menimpa kakaknya, Bahiij Badr, yang ditangkap pada malam yang sama dan divonis 18 kali seumur hidup.

Bahkan ibu mereka pun ikut ditahan beberapa minggu kemudian dan ditempatkan di sel isolasi meski sudah tua dan sakit.

Kisah keluarga Badr menjadi potret betapa perlawanan Palestina sering dibayar dengan harga yang nyaris tak tertanggung: kehilangan seluruh kehidupan sekaligus.

Muhammad Abu Tubaykh: Cendekia dari penjara Jenin

Dari kota Jenin—yang namanya selalu dikaitkan dengan perlawanan—muncul sosok Muhammad Abu Tubaykh, seorang pejuang yang juga pencinta ilmu.

Ia pertama kali ditangkap pada 1999, tak lama setelah menempuh tahun pertamanya di universitas.

Setelah bebas, ia kembali bergabung dengan Saraya al-Quds, sayap militer Jihad Islam, dan menjadi dekat dengan tokoh perlawanan seperti Thabit Mardawi.

Pada Juli 2002, ia kembali ditangkap karena terlibat dalam pembuatan bahan peledak dan pertempuran di Kamp Jenin. Pengadilan militer menjatuhkan hukuman dua kali seumur hidup plus 15 tahun.

Namun penjara justru menjadi ruang produktif baginya. Abu Tubaykh berhasil meraih tiga gelar sarjana, menulis buku 2 jilid berjudul “Darb al-Shadiqin” (Jalan Para Pejuang Kebenaran) yang mendokumentasikan kisah 42 tahanan, dan bahkan menempuh program magister studi Israel.

Kini ia dikenal sebagai salah satu simbol kesadaran intelektual di kalangan tahanan Palestina.

Babak baru dari perjanjian pertukaran

Layanan Pemasyarakatan Israel mengumumkan pada Senin malam bahwa sebanyak 1.986 tahanan Palestina telah dibebaskan, berdasarkan kesepakatan antara kelompok perlawanan dan Israel.

Dari jumlah itu, 250 orang adalah tahanan seumur hidup atau dengan vonis tinggi, sedangkan 1.700 lainnya merupakan warga Gaza yang ditangkap selama dua tahun perang.

Kantor Media Tahanan milik Hamas menyebutkan, 154 tahanan di antara mereka dibebaskan dengan syarat diasingkan ke Mesir.

Sebagai bagian dari kesepakatan tersebut, Brigade al-Qassam juga membebaskan 20 tawanan Israel dan menyerahkan mereka kepada Palang Merah Internasional, dalam tahap pertama perjanjian gencatan senjata antara Hamas dan Israel.

Kesepakatan ini merupakan bagian dari rencana yang diajukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, yang mencakup penghentian perang, penarikan bertahap pasukan Israel, pertukaran tahanan, serta pembukaan jalur bantuan kemanusiaan menuju Gaza.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler