Harian Haaretz melaporkan, Selasa (4/11), bahwa pemerintah Israel memberlakukan kebijakan baru yang memaksa puluhan lembaga kemanusiaan menghentikan kegiatan mereka di Jalur Gaza dan Tepi Barat.
Langkah itu membuat ribuan ton bahan pangan dan perlengkapan bantuan tertahan di luar wilayah Gaza.
Menurut laporan tersebut, kebijakan baru itu memperketat syarat masuk lembaga kemanusiaan ke wilayah Palestina.
Setiap organisasi kini diwajibkan menyerahkan data rinci seluruh pegawai dan anggota keluarga mereka, baik warga Palestina maupun warga asing.
Kebijakan ini diberlakukan kembali pada Maret lalu setelah kewenangan registrasi lembaga kemanusiaan dialihkan dari Kementerian Kesejahteraan ke Kementerian Diaspora yang dipimpin Amichai Chikli, politisi dari Partai Likud.
Kementerian diaspora pegang kendali
Dengan perubahan ini, Kementerian Diaspora memiliki kewenangan luas untuk menolak izin operasi lembaga-lembaga kemanusiaan.
Menurut Haaretz, kementerian berhak menolak permohonan organisasi yang dianggap “menyangkal keberadaan Israel sebagai negara Yahudi dan demokratis” atau “berusaha mendelegitimasi Israel.”
Alasan lain untuk menolak izin adalah jika organisasi tersebut mendukung “penuntutan warga Israel di pengadilan asing atau internasional” atas dugaan kejahatan perang di Gaza.
Selain itu, organisasi dapat ditolak jika salah satu pegawainya pernah menyerukan boikot terhadap Israel dalam tujuh tahun terakhir.
Sejak awal September lalu, kementerian tersebut telah menolak 14 dari 100 permohonan izin yang diajukan berbagai organisasi.
Sisanya masih menunggu keputusan. Beberapa lembaga yang disetujui sebelumnya pernah bekerja sama dengan Gaza Humanitarian Foundation.
Lembaga yang didirikan bersama oleh Israel dan Amerika Serikat pada Mei lalu, namun berhenti beroperasi sejak Oktober.
Tanpa registrasi resmi, lembaga kemanusiaan tidak diizinkan membawa makanan atau bantuan ke Gaza, dan pegawainya pun tidak bisa memperoleh visa untuk bekerja di Israel atau Tepi Barat.
Kondisi ini membuat mereka sulit mengakses Gaza, mengangkut barang, atau membeli perlengkapan di wilayah Israel.
Bantuan tertahan di perbatasan
Menurut Haaretz, di antara organisasi yang masih menunggu izin adalah beberapa lembaga kemanusiaan terbesar dunia, seperti Oxfam, Save the Children, dan Norwegian Refugee Council.
Banyak organisasi enggan menyerahkan daftar pegawai mereka—baik warga Palestina maupun asing—karena khawatir hal itu melanggar aturan perlindungan data pribadi di negara asal masing-masing.
Dalam beberapa minggu terakhir, Israel juga memperketat jalur alternatif untuk pengiriman bantuan.
Sejumlah lembaga yang tidak memiliki izin berusaha menyalurkan barang melalui lembaga PBB atau organisasi lain yang telah disetujui, namun langkah itu juga diblokir.
Akibatnya, berbagai perlengkapan bantuan—mulai dari tempat tidur, tenda, selimut plastik, peralatan desalinasi air, bahan isolasi, pakaian musim dingin, perlengkapan kebersihan, hingga bahan pangan—terjebak di Israel, Yordania, Mesir, dan Tepi Barat.
“Hukuman kolektif”
Bouchra Khalidi, Direktur Kebijakan Oxfam di wilayah Palestina, menilai langkah ini sebagai bagian dari kebijakan lebih luas yang diterapkan Israel untuk menjadikan Gaza “tempat yang tidak layak huni”.
Ia menyebut kebijakan tersebut sebagai bentuk hukuman kolektif terhadap seluruh penduduk Gaza.
Sejak diberlakukannya kesepakatan gencatan senjata pada 10 Oktober lalu—bagian dari rencana Presiden AS Donald Trump—Israel terus melanggar ketentuan.
Baik dengan melancarkan serangan militer maupun menahan masuknya bantuan kemanusiaan dalam jumlah yang dijanjikan.
Data resmi menunjukkan, rata-rata hanya 89 truk bantuan yang diizinkan masuk setiap hari, jauh dari 600 truk per hari yang seharusnya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar lebih dari dua juta warga Gaza.

