Pemerintah Israel pada Minggu (10/8) diperkirakan akan mengesahkan mobilisasi puluhan ribu pasukan cadangan.
Langkah ini menyusul persetujuan sebelumnya terhadap rencana menguasai penuh Jalur Gaza.
Di saat yang sama, para mediator internasional terus berpacu dengan waktu mencari kesepakatan baru untuk menghentikan perang.
Stasiun televisi Channel 13 melaporkan bahwa perluasan operasi militer mencakup penggunaan tembakan intensif serta strategi “menggerogoti” satu per satu kawasan di Kota Gaza.
Namun, rencana ini menuai kritik keras dari sejumlah perwira tinggi militer. Channel 12 bahkan mengutip pendapat para perwira senior bahwa perang di Gaza kini “terjebak seperti gerobak yang terperosok ke pasir.”
Perdebatan panjang
Harian Yedioth Ahronoth mengungkap bahwa seluruh pimpinan lembaga keamanan Israel menolak rencana pendudukan penuh Gaza dalam rapat kabinet keamanan, Jumat (8/8).
Sementara itu, The Wall Street Journal mencatat bahwa rencana tersebut menghadapi berbagai tantangan.
Pertemuan kabinet itu berlangsung 10 jam dan diwarnai perdebatan sengit. Para pimpinan keamanan menyampaikan penolakan dengan intensitas berbeda, sambil menegaskan bahwa masih ada “opsi yang lebih tepat” untuk mencapai tujuan militer.
Ketegangan pun muncul antara Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Eyal Zamir.
Beberapa menteri turut mempersoalkan sikap Zamir, yang menyebut rencana pendudukan sebagai “jebakan strategis” yang akan melemahkan militer selama bertahun-tahun dan mengancam keselamatan para sandera.
Kepala Dewan Keamanan Nasional, Tzachi Hanegbi, menilai foto-foto terbaru para sandera Israel yang tampak kurus dan lemah tidak memberinya alasan mendukung strategi “semua atau tidak sama sekali”.
“Saya tidak mau melewatkan kesempatan menyelamatkan setidaknya 10 sandera. Gencatan senjata akan memberi peluang untuk bernegosiasi,” ujarnya.
Wall Street Journal mengutip pejabat Israel yang mengakui keterbatasan personel sebagai hambatan utama menguasai Gaza.
Brigadir Jenderal (Purn) Amir Avivi menilai kemajuan cepat memerlukan beberapa divisi tambahan dengan puluhan ribu personel.
Menurutnya, pilihan yang lebih realistis adalah operasi bertahap untuk mengurangi beban pasukan.
Di sisi lain, sebagian pasukan cadangan mengancam tidak akan kembali ke medan tempur jika dipanggil lagi, di tengah kelelahan dan tekanan panjang akibat perang yang tak kunjung selesai.
Mencari kesepakatan baru
Dalam konteks diplomasi, lembaga penyiaran publik Israel, Kan, melaporkan bahwa Amerika Serikat bersama para mediator internasional terus menekan Hamas dan Israel agar kembali ke meja perundingan.
Menurut sumber yang dikutip pada Sabtu (9/8), tekanan itu diarahkan untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata di Gaza, yang sejak 22 bulan terakhir mengalami serangan militer dan blokade ketat dari Tel Aviv.
Situs berita Axios mengutip seorang pejabat senior Israel yang mengatakan bahwa rencana serangan besar-besaran di Gaza tidak akan dilaksanakan segera.
Tidak ada jadwal pasti kapan operasi itu dimulai, sehingga masih tersedia waktu untuk mencari solusi diplomatik.
Pejabat tersebut menambahkan, dalam rapat kabinet, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berbicara dengan cara yang membuka kemungkinan penundaan operasi jika negosiasi pembebasan sandera dan penghentian perang kembali berjalan.
Rencana pendudukan penuh Gaza menuai kecaman dari berbagai negara dan organisasi, termasuk Qatar dan Mesir yang selama ini menjadi mediator.
Namun, Amerika Serikat (AS) memilih tidak mengomentarinya secara langsung. Presiden AS Donald Trump, ketika ditanya beberapa hari lalu, menegaskan bahwa keputusan tersebut sepenuhnya berada di tangan Israel—pernyataan yang oleh sejumlah pengamat dipandang sebagai “lampu hijau” bagi Netanyahu.