Wednesday, July 30, 2025
HomeBeritaKisah dari lautan: Pengalaman jurnalis Muhammad Al-Buqali di kapal Handala

Kisah dari lautan: Pengalaman jurnalis Muhammad Al-Buqali di kapal Handala

Setelah sempat ditahan oleh otoritas Israel, jurnalis Al Jazeera yang berbasis di Paris, Muhammad Al-Buqali, akhirnya kembali menginjakkan kaki di Bandara Charles de Gaulle.

Ia termasuk di antara awak kapal Hanzala, armada sipil yang berlayar untuk menembus blokade Israel atas Gaza.

Pelayaran yang semula direncanakan berakhir di pantai Gaza itu justru harus berbelok arah setelah kapal dicegat oleh angkatan laut Israel di perairan internasional.

Pasukan Israel naik ke atas kapal dengan kekuatan penuh, menyita kendali, dan membawa seluruh penumpang dalam sebuah perjalanan penuh tekanan—mulai dari interogasi hingga penahanan.

Al-Buqali menceritakan kepada Al Jazeera bahwa misi Hanzala bukanlah upaya menerobos batas secara ilegal, melainkan seruan moral untuk menembus dinding keheningan dunia atas tragedi kemanusiaan di Gaza.

“Kami tidak membawa senjata, tetapi membawa sebuah narasi yang mengutuk blokade dan membongkar diamnya dunia terhadap genosida,” ujarnya.

Kapal berangkat dari Pelabuhan Gallipoli di Italia, dikawal oleh delapan hingga sepuluh kapal perang Israel selama sekitar 12 jam menuju Pelabuhan Ashdod.

Setibanya di sana, mereka disambut oleh aparat keamanan Israel yang langsung memperlakukan mereka dengan kasar dan penuh penghinaan.

Setelah pendaratan paksa, para aktivis menyuarakan slogan “Kebebasan untuk Palestina” secara serentak, yang langsung menyulut amarah para tentara.

Bentuk kemarahan ini lalu berubah menjadi tekanan psikologis selama proses pemeriksaan dan penahanan.

Tekanan dan penghinaan

Menurut Al-Buqali, perlakuan terhadap para aktivis sangat keras, terlebih bagi mereka yang bukan berasal dari negara-negara Arab.

Ia menyoroti seorang warga negara Amerika keturunan Afrika yang mendapat perlakuan sangat buruk.

Para tahanan ditempatkan dalam sel sempit, tanpa akses komunikasi dengan dunia luar. Mereka hanya diperkenankan ke toilet di bawah pengawasan, dan bahkan pintu sel pun harus tetap terbuka di bawah pantauan kamera.

Yang lebih mengherankan, kata Al-Buqali, mereka dikenai tuduhan yang dianggapnya tidak berdasar: mulai dari kepemilikan narkoba hingga tuduhan keterkaitan dengan kelompok teroris. Padahal, menurutnya, misi ini sepenuhnya bersifat kemanusiaan.

Meski beberapa orang akhirnya dibebaskan—termasuk Al-Buqali sendiri, anggota parlemen Prancis Gabrielle Cattala, seorang juru kamera Al Jazeera, serta 2 warga negara dari Amerika dan Italia—nasib 14 aktivis lainnya hingga kini belum jelas. Tidak ada kepastian informasi mengenai kondisi mereka.

Al-Buqali kembali menyerukan pembebasan para aktivis yang masih ditahan di Penjara Givon.

Beberapa di antaranya, menurut laporan terakhir, masih melanjutkan aksi mogok makan sebagai bentuk protes terhadap deportasi paksa dan tindakan represif yang mereka alami.

Dalam pandangan Al-Buqali, perlakuan Israel terhadap para aktivis sejak awal hingga proses pemulangan bukan semata soal keamanan.

“Ada upaya sistematis untuk membungkam para saksi mata. Tapi cerita ini lebih kuat dari blokade. Ia akan menemukan jalannya sendiri ke hadapan public,” katanya.

Perjalanan belum berakhir

Saat akhirnya dipulangkan, Al-Buqali menegaskan bahwa perjalanan Handala belumlah berakhir.

“Ini bukan titik akhir, tapi awal dari kisah baru. Kapal itu memang tak sampai ke Gaza, tapi berhasil mendekatkan dunia pada penderitaan warganya,” ujarnya.

Sementara itu, dunia terus menyaksikan reaksi atas penahanan kapal Hanzala. Koalisi Sumud tengah menyiapkan pelayaran sipil terbesar dari 39 negara, sebagai upaya simbolis lanjutan untuk mengakhiri pengepungan atas Gaza.

Pelayaran ini, seperti yang ditegaskan para penyelenggaranya, murni bersifat sipil dan kemanusiaan.

Tujuannya jelas: mengungkap kelambanan dunia atas kejahatan perang yang terus berlangsung di Gaza, serta membuktikan bahwa solidaritas rakyat global tetap mampu menembus tembok—baik yang bersifat maritim maupun politis.

Lembaga hukum HAM Adalah mencatat bahwa para aktivis secara kolektif menolak proses deportasi kilat.

Mereka bersikeras menempuh jalur hukum untuk membuktikan legitimasi tindakan mereka. Mogok makan pun terus berlanjut di dalam sel.

Bagi Al-Buqali, perjuangan ini telah bertransformasi. Ia bukan lagi sekadar tentang mematahkan blokade laut, tapi juga tentang meruntuhkan tembok pembiaran dunia.

Ini adalah soal membela suara kemanusiaan, menghadirkan saksi di tengah upaya sistematis untuk menyembunyikan kebenaran.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular