Untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade, kota Aleppo di Suriah—yang pernah menjadi pusat industri negeri itu—akhirnya kembali dialiri energi bersih dan andal.
Gas alam kini mulai mengalir ke wilayah utara Suriah melalui koridor baru yang menghubungkan Azerbaijan, Turki, dan Aleppo.
Hal itu membuka jalan bagi pulihnya layanan dasar di kawasan yang porak-poranda akibat perang.
Pipa gas tersebut memasuki Suriah melalui Provinsi Kilis di Turki, dan menjadi bagian dari kerja sama trilateral antara Ankara, Baku, dan Doha.
Ini bukan hanya sumbangsih kemanusiaan, tetapi juga mencerminkan upaya Turki untuk mengintegrasikan Suriah ke dalam visi konektivitas kawasan yang lebih luas melalui inisiatif Development Road (Jalur Pembangunan) yang diusung Ankara.
Apa manfaatnya bagi Suriah?
Keberadaan gas alam ini sangat krusial bagi kota Aleppo, yang selama bertahun-tahun hidup bergantung pada generator diesel akibat hancurnya sistem kelistrikan nasional.
Pasokan listrik yang minim—sering kali hanya tersedia beberapa jam per hari—telah melumpuhkan layanan publik, industri kecil, bahkan rumah sakit dan sekolah.
Kini, dengan kembalinya listrik berbasis gas, pemulihan mulai tampak di cakrawala. Meski volumenya masih terbatas, pemerintah Turki menggambarkan proyek ini sebagai langkah awal menuju integrasi ekonomi yang lebih luas.
Aleppo dijadikan zona percontohan untuk skema rekonstruksi berbasis infrastruktur lintas negara.
Di balik kepentingan Ankara
Turki menjadi aktor kunci yang menjembatani pengiriman gas dari Azerbaijan dan melibatkan Qatar sebagai penyandang dana.
Namun, di balik wajah kemanusiaan, ada perhitungan geopolitik yang lebih dalam.
Dengan menstabilkan wilayah utara Suriah, Ankara berharap bisa menghidupkan kembali perdagangan lintas batas, mengurangi tekanan arus pengungsi, dan melemahkan kekuatan separatis dengan memperkuat kapasitas negara pusat.
Bagi Ankara, keruntuhan Suriah berdampak langsung pada keamanan nasionalnya. Alih-alih mengandalkan pendekatan politik atau diplomasi yang tak kunjung menemui titik temu, Turki memilih jalur infrastruktur sebagai alat stabilisasi.
Terhubung dengan jalur pembangunan
Proyek gas ini merupakan bagian dari Development Road Initiative—sebuah strategi besar Ankara untuk memperkuat posisi sebagai penghubung utama rute perdagangan dan energi di kawasan.
Filiz Katman, akademisi dan pengamat isu Suriah, menyebut proyek ini sebagai alternatif terhadap Koridor Ekonomi India-Timur Tengah-Eropa yang didukung Amerika Serikat (AS) dan Israel.
Menurut Katman, proyek Jalur Pembangunan dirancang untuk membentuk jaringan kerja sama kawasan berbasis infrastruktur energi, logistik, dan transportasi yang saling menguntungkan.
Kesepakatan gas Suriah menjadi contoh konkret pertama dari visi tersebut, memperlihatkan bagaimana infrastruktur bersama bisa mendorong kerja sama jangka panjang, bahkan di wilayah pascakonflik yang terfragmentasi.
Jejak diplomatik Azerbaijan dan Qatar
Azerbaijan bertindak sebagai pemasok gas, sementara Qatar menyediakan pembiayaan. Kedua negara ini memainkan peran yang semakin menonjol dalam dinamika diplomatik Timur Tengah.
Setelah konflik Nagorno-Karabakh berakhir pada 2020, Baku mulai memperluas diplomasi energi regionalnya sejalan dengan strategi Ankara.
Qatar sendiri telah lama aktif dalam bantuan kemanusiaan dan pembangunan kembali Suriah.
Keterlibatan kedua negara dalam proyek gas ini menandai eksperimen Ankara terhadap model kerja sama kawasan yang tidak bergantung pada saluran Barat, melainkan mengedepankan hasil nyata dan kolaborasi lintas blok.
Melemahkan separatisme lewat energi
Peningkatan kendali pemerintah pusat Suriah atas distribusi energi diyakini dapat memperluas jangkauan negara ke wilayah-wilayah yang selama ini dikuasai aktor non-negara.
Dalam konteks utara dan timur laut Suriah, aliran gas ini berpotensi mengikis pengaruh kekuatan separatis dan sistem pemerintahan paralel yang didukung kekuatan asing, termasuk Israel.
Turki secara konsisten menentang segala bentuk fragmentasi Suriah dan meyakini bahwa negara yang bersatu secara politik dan ekonomi adalah kunci bagi stabilitas regional—terutama bagi keamanan nasionalnya sendiri.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Risiko masih mengintai. Meski kecil kemungkinannya, koridor gas ini tetap rentan terhadap sabotase, hambatan logistik, atau penolakan dari aktor-aktor regional pesaing.
Namun bila proyek ini berhasil, modelnya bisa diperluas ke sektor lain seperti telekomunikasi, jalur dagang, hingga infrastruktur air bersih.
Bagi Turki, akses energi bukan sekadar urusan teknis, tetapi juga alat pengaruh strategis.
Dalam menyalakan lampu-lampu rumah di utara Suriah, Ankara tengah mengukir peta pascaperang Timur Tengah—dengan jalur pipa sebagai guratannya.