Pertemuan diplomatik tingkat tinggi antara Suriah dan Israel yang digelar di Paris pada 24 Juli lalu menjadi sorotan tajam dalam dinamika kawasan.
Di bawah mediasi Amerika Serikat (AS), dialog ini menjadi yang pertama dalam lebih dari 2 dekade, menandai momen diplomatik langka sejak pertemuan menteri luar negeri Suriah Farouk al-Sharaa dengan Perdana Menteri Israel Ehud Barak di Washington pada tahun 2000.
Dalam pertemuan yang berlangsung di ibu kota Prancis tersebut, delegasi Suriah dipimpin oleh Menteri Luar Negeri As’ad al-Shibani, didampingi oleh sejumlah pejabat dari kementerian luar negeri dan badan intelijen.
Sementara dari pihak Israel, hadir Menteri Urusan Strategis Ron Dermer. Menurut sejumlah media Barat dan Israel, pertemuan ini merupakan kelanjutan dari komunikasi tidak langsung yang sebelumnya berlangsung, termasuk pertemuan rahasia di Baku, Azerbaijan, pada 12 Juli lalu.
Kartu politik bernama Suwaida
Pertemuan Paris tak bisa dilepaskan dari dinamika yang terjadi di wilayah selatan Suriah, terutama di Provinsi Suwaida, yang dihuni mayoritas warga dari komunitas Druze.
Dalam beberapa tahun terakhir, Suwaida menjadi titik resistensi terhadap otoritas pusat di Damaskus, terutama sejak peran oposisi dan kelompok bersenjata lokal makin menguat.
Kepemimpinan rohani dan sosial Druze di Suwaida, yang dipersonifikasikan dalam sosok Syaikh Hikmat al-Hijri dan Dewan Militer lokal, secara terbuka menolak kembalinya kendali pemerintah Suriah atas wilayah tersebut.
Berbagai upaya negosiasi yang dimediasi oleh Gubernur Suwaida Mustafa al-Bakkour pun tak menghasilkan kesepakatan, bahkan diwarnai penolakan terhadap campur tangan pemerintah.
Situasi ini memberi celah bagi Israel untuk masuk melalui jalur yang bersifat simbolis maupun politik.
Tel Aviv kerap mengangkat isu Suwaida di forum-forum internasional, dengan dalih membela komunitas Druze yang juga menjadi bagian dari masyarakat Israel.
Salah satu aktor kunci dalam agenda ini adalah Syaikh Muwafaq Tarif, Ketua Pengadilan Agama Druze di Israel, yang secara aktif mengadvokasi isu Suwaida dengan dukungan penuh pemerintah Israel.
Sebagian pengamat menilai langkah Israel ini sebagai bentuk dukungan terhadap komunitas Druze dalam negeri yang ikut terlibat dalam agresi militer di Gaza.
Namun ada pula yang menilai bahwa Israel tengah memanfaatkan ketegangan di Suwaida untuk menekan Damaskus agar bersedia membuka jalur normalisasi dengan syarat-syarat tertentu.
Sinyal Amerika dan berhentinya serangan
Peran Washington dalam pertemuan Paris sangat terasa, apalagi menyusul eskalasi militer Israel yang belum lama ini mencapai puncaknya.
Serangan udara intensif yang dilakukan Israel ke wilayah selatan Suriah menewaskan dan melukai puluhan personel militer Suriah, bahkan hingga menyasar pusat komando militer di Damaskus.
Di tengah ketegangan tersebut, pemerintah Suriah mengumumkan kesepakatan gencatan senjata di Suwaida dengan mediasi dari AS dan sejumlah negara regional.
Kesepakatan itu mencakup pemberian akses bantuan kemanusiaan, pertukaran tawanan, serta relokasi sementara warga pengungsi ke wilayah Daraa.
Namun, dari pihak Israel, pernyataan-pernyataan resmi yang muncul tetap menegaskan keinginan untuk menjaga wilayah selatan Suriah sebagai zona demiliterisasi dan menekankan perlindungan terhadap komunitas Druze Suriah sebagai prioritas.
Pasca-pertemuan Paris, pernyataan para pejabat Israel mengindikasikan bahwa topik utama pembahasan dengan Suriah adalah soal pengamanan kawasan selatan.
Namun dari sisi Suriah, media pemerintah menyebut pertemuan tersebut belum menghasilkan kesepakatan final, melainkan baru berupa konsultasi awal guna menurunkan eskalasi dan membuka kembali saluran komunikasi.
Meski belum menghasilkan terobosan besar, dua hal tampak jelas. Pertama, serangan Israel ke selatan Suriah berhenti untuk sementara waktu.
Kedua, jalur komunikasi antara Damaskus dan Tel Aviv kini beralih dari ruang rahasia ke ranah publik, dan dari ranah keamanan ke ranah politik, di bawah payung diplomasi resmi AS.
Di lapangan, helikopter terus terlihat mendarat di Suwaida. Para aktivis menyebut helikopter-helikopter ini membawa pasokan senjata dan logistik untuk Dewan Militer lokal yang masih memegang kendali atas kota dan menolak intervensi pemerintah Suriah.
Pos-pos pemeriksaan dijaga ketat, sementara bantuan kemanusiaan hanya diperkenankan masuk melalui Bulan Sabit Merah Suriah, tanpa keterlibatan langsung dari otoritas pusat Damaskus.
Pertemuan eksploratif dan titik-titik sengketa
Informasi yang muncul dari isi pembicaraan di Paris menunjukkan bahwa pertemuan tersebut bersifat eksploratif.
Tujuannya untuk menjajaki kemungkinan tercapainya kesepakatan yang lebih luas terkait situasi di Suriah, khususnya kawasan selatan yang menjadi titik panas dalam beberapa bulan terakhir.
Media Suriah melaporkan sejumlah poin perbedaan yang mengemuka dalam dialog, salah satunya adalah keinginan Israel untuk memperluas zona penyangga.
Sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Disengagement 1974, sekaligus mempertahankan pos-pos baru yang mereka bangun pasca-melemahnya kontrol rezim Assad.
Di sisi lain, Damaskus ingin agar situasi dikembalikan ke pengaturan semula berdasarkan perjanjian asli, meski terbuka pada koordinasi keamanan tertentu guna meredakan kekhawatiran Israel.
Keinginan untuk menggelar pertemuan ini sebagian besar didorong oleh AS. Hal ini dikemukakan oleh harian Haaretz dalam ulasan analisnya yang menyebut bahwa intervensi Washington justru membatasi ruang gerak Israel di Suriah.
Saluran televisi Israel, Channel 12, mengutip pernyataan sejumlah pejabat yang menyebut bahwa Menteri Urusan Strategis Ron Dermer tengah menjalin koordinasi erat dengan pemerintahan Donald Trump.
Fokusnya adalah menyusun paket insentif yang dapat mendorong Damaskus bergerak ke arah normalisasi hubungan—di mana pertemuan Paris disebut sebagai langkah awal dari proses itu.
Apa yang terlihat dari dinamika ini adalah keinginan Israel untuk membentuk sebuah perjanjian komprehensif dengan Damaskus, tetapi dengan parameter baru.
Salah satu syarat penting yang diajukan adalah pelucutan total senjata berat di wilayah selatan Suriah.
Pemerintahan Netanyahu tetap bersikukuh bahwa kawasan tersebut harus steril dari kekuatan militer.
Pernyataan dan bocoran informasi dari pihak Israel dan AS sebelum eskalasi di Suwaida pun mengarah pada dukungan terhadap kembalinya kendali pemerintah Suriah atas seluruh wilayahnya.
Bahkan, Utusan Khusus AS untuk Suriah, Thomas Barak, secara terang-terangan menyatakan penolakan terhadap pembentukan otonomi khusus baik oleh komunitas Kurdi maupun Druze.
Sikap ini dibaca sebagai bagian dari upaya Washington dan Tel Aviv mendorong Damaskus ke dalam posisi tawar yang lemah agar bersedia memberikan konsesi politik.
Apa yang bisa diharapkan dari Paris?
Dalam jangka pendek, hasil paling nyata dari pertemuan Paris tampaknya adalah menurunnya eskalasi di wilayah Suwaida dan berakhirnya konfrontasi bersenjata di sana.
Hal ini secara tidak langsung juga menghilangkan alasan bagi Israel untuk melanjutkan serangannya dengan dalih menjaga stabilitas.
Pemerintah Suriah sendiri diperkirakan memanfaatkan momen ini untuk mengurangi tekanan militer, sambil berharap adanya perubahan konstelasi politik di Israel.
Harapan ini muncul di tengah krisis politik internal pemerintahan Netanyahu. Hal itu menyusul keluarnya partai-partai ultra-Ortodoks Haredi dari koalisi pada 14 Juli.
Selain itu juga adanya ancaman dari Partai Shas yang juga mempertimbangkan langkah serupa karena gagalnya pemerintah meloloskan undang-undang yang membebaskan pelajar sekolah keagamaan dari wajib militer.
Dengan kondisi tersebut, kecil kemungkinan Damaskus akan menyetujui kesepakatan yang memungkinkan wilayah selatan tetap berada di luar kendali militer Suriah.
Hal ini dikhawatirkan akan merusak legitimasi negara dan membuka celah bagi aktor-aktor lokal untuk memperkuat otonominya, sebagaimana telah terjadi pada kelompok Pasukan Demokratik Suriah (SDF) di timur laut negara itu.
Faktor lain yang akan sangat menentukan adalah sejauh mana AS bersikukuh mencegah eskalasi baru. Selain itu, apakah Damaskus mampu menawarkan formula integrasi untuk Suwaida yang tidak bertumpu semata pada pendekatan keamanan.
Namun, jika pemerintah AS terus mendorong tercapainya perjanjian menyeluruh antara Suriah dan Israel, maka ruang manuver Damaskus bisa semakin terbatas. Terutama karena Washington masih memiliki senjata tekanan ekonomi yang sangat efektif.
Dalam konteks ini, kemungkinan tercapainya kesepakatan yang lebih luas dalam jangka menengah tidak dapat diabaikan.
Salah satu keuntungan diplomatik yang berhasil dicapai Israel dalam pertemuan Paris adalah keberhasilan memindahkan jalur negosiasi dari Azerbaijan ke Prancis.
Masuknya Paris sebagai mediator dinilai lebih menguntungkan bagi Israel dibandingkan mediasi yang sebelumnya dijajaki oleh Turki dalam pembicaraan di Baku.