Parlemen Israel (Knesset) kembali mengambil langkah kontroversial yang mengarah pada pembongkaran sistematis terhadap Otoritas Palestina dan menghancurkan peluang lahirnya negara Palestina yang merdeka.
Melalui pemungutan suara yang berlangsung Rabu (24/7), mayoritas anggota Knesset menyetujui rancangan resolusi yang menyerukan penerapan “kedaulatan” Israel atas Tepi Barat yang diduduki.
Sebanyak 71 dari 120 anggota Knesset mendukung resolusi tersebut. Pemungutan suara itu berlangsung hanya 2 hari setelah sejumlah menteri dan anggota parlemen Israel.
Termasuk dari partai Likud pimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, secara terbuka menyerukan pencaplokan wilayah Tepi Barat dalam sebuah konferensi di gedung parlemen.
Langkah ini menjadi tantangan nyata terhadap konsensus internasional yang secara konsisten menolak rencana aneksasi wilayah pendudukan, karena dianggap melanggar hukum internasional.
Resolusi ini juga disahkan menjelang libur musim panas parlemen dan hanya beberapa hari sebelum penyelenggaraan konferensi internasional di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membahas implementasi solusi dua negara.
Meskipun secara hukum tidak mengikat dan tidak mewajibkan pemerintah Israel untuk langsung bertindak.
Resolusi ini datang di tengah meningkatnya aktivitas di lapangan yang menurut para pakar bertujuan melemahkan Otoritas Palestina dan menggantinya dengan struktur lokal yang lebih mudah dikendalikan oleh Israel.
Pencaplokan bertahap
Ahmad al-Deek, penasihat politik di Kementerian Luar Negeri Palestina, menyebut bahwa resolusi ini merupakan kelanjutan dari keputusan Knesset pada Juli 2024 yang secara resmi menolak pendirian negara Palestina.
Menurutnya, ini bagian dari “rencana penuntasan” yang digerakkan oleh koalisi pemerintahan Israel sejak mereka berkuasa.
“Kami menyaksikan pencaplokan bertahap yang dilakukan setiap hari lewat berbagai pelanggaran dan kejahatan di lapangan, termasuk pemecah-belah wilayah Tepi Barat dan perluasan pemukiman ilegal,” kata al-Deek kepada Al Jazeera.
Ia menambahkan bahwa keputusan Knesset ini juga dimaksudkan sebagai respons provokatif terhadap konferensi PBB tentang solusi dua negara yang akan digelar pekan depan.
“Ini adalah bentuk penghinaan terang-terangan terhadap lebih dari 140 negara yang mendukung konferensi itu. Seperti biasa, Israel kembali menentang legalitas dan komunitas internasional,” imbuhnya.
Al-Deek menegaskan bahwa perkembangan ini seharusnya menjadi perhatian serius dunia internasional.
Ia maminta untuk memperkuat sanksi dan akuntabilitas terhadap Israel serta menyeret para pemimpinnya ke pengadilan internasional atas tindakan kolonial yang terus berlangsung.
Upaya Palestina melawan
Terkait langkah konkret yang dilakukan pihak Palestina, al-Deek menyebut bahwa mereka telah memulai sejak dini upaya politik, diplomatik, dan hukum untuk membongkar dan menantang proyek kolonial Israel ini.
Ia memperingatkan bahwa implementasi resolusi ini hanya akan memperkuat sistem apartheid yang kini diterapkan di wilayah Palestina yang diduduki.
Ia menjelaskan bahwa isu permukiman ilegal, pencaplokan Tepi Barat, serta seluruh pelanggaran hak asasi yang menyertainya telah menjadi bagian dari berkas yang dilimpahkan ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Selain itu, Mahkamah Internasional (ICJ) juga telah mengeluarkan opini hukum yang menyatakan pendudukan Israel sebagai ilegal dan menyerukan penghentian segera.
Pemerintah Palestina juga secara berkala mengirimkan laporan ke berbagai badan peradilan internasional.
Termasuk mendorong negara-negara untuk memanfaatkan yurisdiksi nasional mereka dalam mengadili para pelaku kejahatan perang dan tokoh-tokoh yang terlibat dalam proyek aneksasi dan pengusiran warga Palestina.
Di tingkat PBB, menurut al-Deek, ada konsensus luas yang menolak rencana Israel ini. Ia mengungkapkan bahwa setiap rancangan resolusi di Dewan Keamanan mendapat dukungan dari 14 dari 15 anggota tetap, dengan satu pengecualian: AS, yang tetap menjadi pelindung utama Israel.
“Kami bekerja sama dengan semua organisasi internasional terkait, siang dan malam, untuk menghasilkan lebih banyak resolusi,” ujarnya.
Namun, ia menyoroti bahwa dukungan internasional ini masih belum diterjemahkan ke dalam langkah konkret yang mampu menekan Israel agar menghentikan agresinya terhadap rakyat Palestina.
Menurutnya, kegagalan masyarakat internasional untuk menghentikan genosida, pengusiran paksa, pencaplokan, dan permukiman ilegal, telah menjadi payung impunitas yang justru mendorong Israel untuk terus melangkah lebih jauh dalam agenda kolonialnya.
“Ini adalah proyek eliminasi terhadap hak rakyat kami dan terhadap Palestina sebagai entitas yang merdeka,” pungkasnya.
Langkah “penyelesaian total”
Keputusan Knesset yang baru-baru ini menyetujui resolusi penerapan “kedaulatan” atas Tepi Barat dipandang oleh banyak pengamat sebagai langkah simbolik yang memiliki konsekuensi nyata.
Bagi pengamat politik Palestina, Ahmad Abu al-Heija, keputusan itu bukan sekadar pernyataan politik, melainkan legalisasi atas kebijakan yang selama ini sudah diterapkan secara de facto di lapangan.
“Pemungutan suara ini memberikan legitimasi hukum terhadap praktik-praktik pencaplokan yang sudah berjalan,” ujarnya dalam wawancara dengan Al Jazeera Net.
Abu al-Heija memperkirakan, akan muncul gelombang baru kebijakan yang lebih represif terhadap warga Palestina, khususnya melalui mekanisme pengusiran internal yang diperhalus maupun diperkeras.
Menurutnya, Israel kini sedang berupaya mempersempit ruang hidup warga Palestina di wilayah-wilayah yang ditargetkan untuk dicaplok.
Taktiknya mencakup pemutusan layanan dasar seperti listrik dan air, serta penarikan akses administrative.
Semacam tekanan bertahap untuk memaksa warga meninggalkan daerah tersebut secara sukarela.
Abu al-Heija juga menyebut kemungkinan perubahan status hukum penduduk Palestina di wilayah yang akan dikenai kedaulatan Israel.
Ia memperkirakan akan ada fleksibilitas lebih besar dalam pemberian anggaran dan kewenangan kepada para pemukim, termasuk legalisasi pemukiman liar serta penyitaan lahan Palestina secara lebih luas.
“Sebagian dari proses ini sudah berlangsung. Namun Israel belum bisa ‘menyelesaikan’ isu Tepi Barat sepenuhnya, karena terhambat oleh ketidakmampuannya menyelesaikan konflik di Gaza, Lebanon, Suriah, atau bahkan menghadapi Iran seperti yang diinginkannya,” katanya.
Tekanan untuk migrasi dan entitas alternatif
Abu al-Heija memperkirakan bahwa tahap selanjutnya akan mencakup proyek-proyek “berdaulat” dan pemindahan paksa berskala lokal.
Tujuannya, menurut dia, adalah mengubah kehidupan warga Palestina menjadi tak tertahankan, merusak seluruh infrastruktur di daerah-daerah yang akan dicaplok, dan pada akhirnya mendorong warga untuk berpindah ke kota-kota—atau bahkan keluar dari Palestina.
Dalam skema yang lebih luas, ia menyebut akan muncul struktur-struktur administratif baru yang bergerak di luar kerangka Otoritas Palestina.
Beberapa dari entitas ini bahkan mungkin berperan sebagai mitra Israel secara langsung atau bergerak atas dasar kepentingan ekonomi dan sosial sempit.
“Israel memanfaatkan jeda politik untuk merombak ulang otoritas lokal dan menciptakan aktor-aktor alternatif yang lebih bisa dikontrol,” katanya.
Menurutnya, dalam jangka panjang, Israel tidak akan puas dengan fleksibilitas Otoritas Palestina yang ada saat ini.
Israel akan membentuk tubuh-tubuh baru yang secara hukum mendapat perlindungan dari sistem hukum Israel.
Ia mencontohkan bagaimana beberapa pelaku bisnis Palestina mulai mendaftarkan usaha mereka di Israel demi melindungi kepentingan ekonominya, serta menjalin kemitraan dengan lembaga donor tanpa melalui jalur resmi otoritas Palestina.
“Entitas-entitas ini sebenarnya sudah ada dan bergerak secara diam-diam. Namun jika mereka mendapat perlindungan resmi dari Israel, Otoritas Palestina tak akan lagi punya kewenangan untuk menindak mereka,” katanya.
Dalam sebuah nota hukum yang dikirim ke Al Jazeera Net, Kepala Divisi Hukum Internasional di Otoritas Palestina untuk Perlawanan terhadap Tembok dan Permukiman, Hasan Breijieh, menegaskan bahwa keputusan Knesset merupakan pelanggaran berat terhadap hukum internasional.
“Piagam PBB dengan jelas melarang perolehan wilayah dengan kekerasan, sebagaimana dikonfirmasi oleh Mahkamah Internasional dalam opini konsultatifnya,” tulis Breijieh.
Ia juga menekankan bahwa pemungutan suara Knesset bertentangan dengan Konvensi Jenewa Keempat serta resolusi Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB.
Namun, menurutnya, keputusan ini tidak menghasilkan dampak hukum secara langsung karena komunitas internasional tetap tidak mengakui klaim kedaulatan Israel atas Tepi Barat.
Meski begitu, ia memperingatkan bahwa legalisasi pencaplokan melalui instrumen hukum nasional Israel akan merusak landasan negosiasi untuk penyelesaian damai dan memperlemah peran PBB sebagai mediator internasional.
“Keputusan Knesset ini adalah langkah politik yang provokatif, dengan implikasi hukum yang sangat serius. Meski tidak mengubah status hukum Tepi Barat sebagai wilayah pendudukan, ia justru memperkuat bukti pelanggaran Israel terhadap hukum internasional—dan membuka ruang untuk penuntutan lebih lanjut,” pungkas Breijieh.