Presiden Prancis Emmanuel Macron menyatakan bahwa Paris mendukung pengiriman pasukan penjaga perdamaian PBB ke Jalur Gaza.
Ia mengungkapkan, Prancis akan memiliki “peran khusus” dalam mengelola Gaza di masa mendatang, bersama dengan Otoritas Palestina.
Hal itu disampaikan dalam KTT Perdamaian untuk Gaza yang digelar di Mesir, Senin (14/10), dan dipimpin bersama oleh Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi dan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.
Macron menegaskan bahwa Prancis siap membantu melatih aparat keamanan Palestina guna menjaga stabilitas internal di wilayah itu.
Menurut Macron, rencana yang diajukan Amerika Serikat mencakup pengerahan 500 personel di Gaza, “tetapi mungkin kita akan membutuhkan seribu.”
Ia juga menekankan bahwa kebutuhan bantuan kemanusiaan di Gaza jauh lebih besar dari yang ada saat ini.
“Gaza memerlukan seribu truk bantuan setiap hari, bukan hanya lima ratus,” ujarnya.
Presiden Prancis itu menggambarkan hari tersebut sebagai “hari bersejarah” yang menandai awal dari fase baru setelah 2 tahun perang dahsyat.
Ia menyebut bahwa “hanya ada satu orang yang mampu menghentikan (Perdana Menteri Israel Benjamin) Netanyahu, dan itu adalah Trump.”
Macron menyerukan kerja sama internasional untuk menciptakan stabilitas di Gaza.
“Tidak bisa lagi ada impunitas,” katanya.
Ia juga menegaskan pentingnya memastikan agar jurnalis dapat kembali bekerja di wilayah tersebut.
Indikator positif
Dalam kesempatan yang sama, Macron mengumumkan bahwa Prancis akan bekerja sama dengan Mesir untuk menyelenggarakan konferensi bantuan kemanusiaan bagi Gaza dalam beberapa minggu mendatang.
Tujuannya adalah mempercepat upaya rekonstruksi dan pemulihan kehidupan di wilayah yang luluh lantak akibat perang.
Macron menyambut rencana kehadiran Presiden Palestina Mahmoud Abbas dalam pertemuan itu, yang ia sebut sebagai “indikator positif”.
Namun ia juga menegaskan perlunya “reformasi menyeluruh” di tubuh Otoritas Palestina. Ia menutup pernyataannya dengan nada tegas.
“Hamas tidak memiliki tempat dalam pemerintahan Gaza yang baru,” tegasnya.
Sementara itu, pemerintah Inggris mengumumkan akan menjadi tuan rumah konferensi selama tiga hari untuk membahas pemulihan dan rekonstruksi Gaza pascaperang.
Menurut pernyataan resmi dari Downing Street, konferensi tersebut akan dihadiri sejumlah mitra internasional, termasuk Jerman, Italia, Arab Saudi, Yordania, serta Otoritas Palestina, bersama perwakilan sektor swasta dan lembaga keuangan pembangunan internasional.
Sebelumnya, pekan lalu, Presiden Trump mengumumkan tercapainya kesepakatan tahap pertama antara Israel dan Hamas mengenai penghentian perang serta pertukaran tawanan.
Perundingan berlangsung secara tidak langsung di Sharm el-Sheikh dengan mediasi Mesir, Turki, dan Qatar, serta pengawasan langsung dari Amerika Serikat.
Berdasarkan rencana Trump, Gaza akan berada di bawah pemerintahan transisi sementara yang dipimpin oleh komite teknokrat Palestina nonpartisan, bertugas mengelola layanan publik dan urusan pemerintahan sehari-hari.
Namun di balik wacana politik dan diplomasi itu, luka Gaza masih terbuka. Sejak 8 Oktober 2023, serangan Israel yang didukung penuh oleh Washington telah menewaskan sedikitnya 67.806 orang, melukai 170.066 lainnya, sebagian besar anak-anak dan perempuan.
Krisis kemanusiaan yang disertai kelaparan ekstrem juga merenggut 463 jiwa tambahan, termasuk 157 anak.

