Sejumlah pejabat di pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menilai saat ini merupakan momentum yang tepat untuk mendorong tercapainya kesepakatan menyeluruh antara Israel dan Hamas, termasuk pembebasan seluruh sandera dan penghentian perang di Jalur Gaza.
Hal ini diungkapkan oleh seorang sumber yang mengetahui proses negosiasi, seperti dilaporkan harian The Jerusalem Post, Senin (28/7/2025).
Menurut laporan tersebut, komunikasi antara Israel dan mediator dari Qatar dan Mesir terus berlangsung dalam dua hari terakhir, bertujuan menghidupkan kembali jalur diplomatik yang sempat terhenti. Utusan khusus AS untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, juga disebut telah beberapa kali bertemu pejabat tinggi Qatar di Sardinia, Italia.
Sebelumnya, pada Ahad pagi, jaringan televisi Fox News mengutip pernyataan Witkoff bahwa negosiasi dengan Hamas telah kembali ke jalurnya setelah sempat mengalami kebuntuan.
Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio, dalam wawancara dengan jaringan tersebut, menyebutkan telah terjadi “kemajuan signifikan” dalam pembicaraan dan menyampaikan harapannya akan tercapai kesepakatan gencatan senjata.
Ia menyatakan, setengah dari sandera dapat dibebaskan segera, dan sisanya dalam jangka waktu 60 hari.
Rubio menegaskan, “Solusi dari konflik di Gaza ini sangat sederhana: bebaskan para sandera dan letakkan senjata, maka perang akan berakhir.”
Di pihak lain, saluran televisi Israel, Channel 14, melaporkan bahwa negosiasi masih terus berlanjut, meski delegasi Israel telah meninggalkan Doha, Qatar, pekan lalu setelah menerima tanggapan Hamas terhadap proposal pertukaran tahanan dan penghentian perang. Sumber resmi di Tel Aviv menyebut tanggapan Hamas “negatif”, dan menyatakan bahwa masih terdapat celah besar yang membutuhkan keputusan politik sulit.
Enam anggota Kongres AS dalam pernyataan bersama menyerukan kepada pemerintahan Trump agar menekan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk segera menyepakati gencatan senjata dan pembebasan para tahanan.
Mereka menyebut kondisi kemanusiaan di Gaza sebagai “mengkhawatirkan dan tidak dapat diterima”.
Sementara itu, harian Yedioth Ahronoth mengutip pejabat senior Israel yang menyebutkan bahwa militer dapat meningkatkan operasi di Gaza ke fase yang “lebih intensif” apabila negosiasi tidak menunjukkan kemajuan berarti.
Langkah ini, menurutnya, akan menciptakan “ancaman militer nyata” di wilayah-wilayah tertentu guna menekan Hamas menerima kesepakatan parsial.
Dari pihak Hamas, Kepala Biro Politik di Gaza, Khalil Al-Hayya, mengungkapkan bahwa pihaknya terkejut atas penarikan delegasi Israel dari putaran negosiasi terakhir, padahal telah terjadi kemajuan substansial, termasuk kesepakatan prinsip dalam beberapa poin penting.
Dalam pernyataan yang disampaikan lewat saluran Al Jazeera, Al-Hayya menegaskan bahwa tidak ada gunanya melanjutkan negosiasi jika Israel terus melanjutkan blokade, pembunuhan, dan kelaparan terhadap warga sipil, terutama anak-anak dan perempuan Gaza.
Ia menjelaskan bahwa selama 22 bulan terakhir, Hamas telah menunjukkan fleksibilitas dalam proses negosiasi yang melelahkan, dengan menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas.
Menurutnya, kemajuan nyata dalam isu penarikan pasukan, pertukaran tahanan, dan akses bantuan kemanusiaan telah dicapai.
Namun, menurut Al-Hayya, Israel tiba-tiba menarik diri dari perundingan, diikuti oleh utusan AS Steve Witkoff. Ia menyebut langkah itu sebagai upaya terang-terangan untuk mengulur waktu dan memungkinkan terjadinya pembantaian lebih lanjut terhadap warga Palestina.
Sejak 7 Oktober 2023, Israel melancarkan operasi militer besar-besaran di Gaza yang menyebabkan kerusakan luas dan krisis kemanusiaan parah. Komunitas internasional secara luas mengutuk operasi tersebut dan menyerukan penghentian segera pertempuran.