Sebuah artikel yang diterbitkan oleh laman independen MondoWeiss melontarkan kritik tajam terhadap sikap diam komunitas gereja global.
Khususnya para pemimpin spiritual Kristen, dalam menghadapi genosida yang dilakukan Israel di Gaza.
Artikel tersebut menyebut kegagalan moral gereja sebagai bentuk keengganan untuk bersuara lantang melawan kejahatan kemanusiaan yang sedang berlangsung.
Penulis artikel, aktor dan aktivis Amerika Jeff Wright yang dikenal lewat kiprahnya dalam isu-isu hak asasi manusia, menyoroti bahwa agresi terhadap Gaza telah berlangsung hampir dua tahun.
Selama periode itu, warga sipil Palestina dibantai dalam jumlah besar, kelaparan merajalela, serta gereja dan rumah sakit ikut dihancurkan.
Namun, mayoritas pemimpin gereja memilih diam atau hanya mengeluarkan pernyataan netral yang dinilai tak mencerminkan keberpihakan moral.
Artikel itu menyinggung serangan udara terhadap Gereja Katolik Keluarga Kudus di Gaza yang menewaskan tiga orang.
Namun Paus hanya menyebutnya sebagai “serangan militer” tanpa mengaitkan peristiwa tersebut dengan rangkaian genosida yang lebih luas, apalagi mengeluarkan seruan jelas untuk menuntut pertanggungjawaban Israel.
Duka tanpa kemarahan
Sikap serupa, menurut Wright, juga diperlihatkan oleh para uskup dari Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa.
Mereka menyatakan “kesedihan” namun tanpa disertai kemarahan atau kecaman politik yang eksplisit.
Seruan mereka cenderung bersifat umum dan mengambang, hanya menyerukan “perdamaian” tanpa keberanian untuk menamai pelaku kekerasan.
Sikap itu, tulis Wright, telah mengecewakan banyak umat Kristen Palestina, yang menilai gereja lebih memilih menjaga relasi politik daripada menegakkan kebenaran dan keadilan.
Ia mengutip aktivis dan pengacara HAM asal Palestina, Jonathan Kuttab, yang menyebut posisi tersebut sebagai bentuk “kebangkrutan moral”.
Menurut Kuttab, kegagalan menyebut genosida sebagaimana adanya bukan karena kekeliruan, melainkan karena alasan politis dan pribadi yang menjauh dari prinsip-prinsip iman.
Ada pengecualian terhormat
Namun Wright juga menyoroti sejumlah pengecualian yang patut dihargai. Lebih dari seribu pendeta Afrika-Amerika menandatangani petisi yang menuntut Presiden AS kala itu, Joe Biden, agar segera menghentikan perang.
Gereja Metodis Afrika Episkopal juga menyerukan penghentian dukungan AS terhadap Israel, menyebut bahwa Amerika turut andil dalam kejahatan genosida tersebut.
Gereja Inggris bahkan menyebut perang Israel sebagai bentuk agresi, bukan pertahanan diri, dan memperingatkan bahwa pengusiran paksa warga Palestina adalah pelanggaran berat hukum internasional.
Sejumlah gereja lain mengambil langkah nyata, seperti mencabut investasi dari obligasi Israel, mengutuk terang-terangan genosida di Gaza, serta menegaskan tanggung jawab Amerika Serikat dalam konflik ini.
Beberapa organisasi Kristen seperti Pax Christi, Friends of Sabeel, dan Kairos Palestine juga terus mendesak agar gereja-gereja di dunia mengadopsi posisi yang lebih tegas dan bermakna dalam mendukung keadilan.
Meski demikian, artikel MondoWeiss menyoroti absennya strategi kolektif dari gereja global untuk merespons tragedi Gaza.
Aktivis seperti Mayada Tarazi dari YMCA menyatakan harapannya agar seruan-seruan moral itu diwujudkan dalam tindakan nyata.
Sementara Uskup Agung Anglikan Yerusalem, Hosam Naoum, menyerukan agar komunitas Kristen global bertanggung jawab atas penderitaan gereja dan umat Kristen di Palestina.
Artikel tersebut ditutup dengan pertanyaan mendasar: Akankah gereja global akhirnya bangkit dan menjalankan peran moralnya untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan di Gaza, ataukah ia akan terus terperangkap dalam pernyataan normatif yang tak berani menyebut pelaku secara terbuka?
Bagi warga Kristen dan Muslim di Gaza, jawabannya tak bisa lagi ditunda.