Friday, October 31, 2025
HomeBeritaNader Sadaqa, pejuang Palestina berdarah Israel bebas setelah 21 tahun ditahan

Nader Sadaqa, pejuang Palestina berdarah Israel bebas setelah 21 tahun ditahan

Nader Sadaqa, seorang warga Palestina berdarah Israel Samaria dan mantan komandan Brigade Abu Ali Mustafa, kini telah bebas setelah lebih dari dua dekade ditahan di pusat-pusat penahanan Israel, lansir Quds Network.

Ia dibebaskan oleh Hamas dalam kesepakatan terbaru pertukaran tahanan dengan Israel, yang menukar 48 tentara Israel dengan hampir 2.000 warga Palestina yang sebelumnya ditahan.

Sadaqa (47) merupakan salah satu tokoh paling menonjol dalam sejarah gerakan tahanan Palestina.

Lahir di Nablus pada 1977, ia dibesarkan di Gunung Gerizim—lokasi suci bagi komunitas Samaria—dan dikenal luas sebagai tokoh yang memadukan akar keagamaan yang dalam dengan identitas nasional Palestina yang kuat.

Dari Gunung Gerizim ke Medan Perlawanan

Nader Sadaqa menempuh pendidikan di bidang sejarah dan arkeologi di Universitas Nasional An-Najah di Nablus.

Kecintaannya terhadap masa lalu Palestina menjadi bagian dari kesadarannya secara politis.

Ia bergabung dengan Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP) sebagai aktivis mahasiswa, dan kemudian naik menjadi komandan lokal sayap bersenjata kelompok tersebut, Brigade Abu Ali Mustafa, selama Intifada Kedua.

Dikenal sebagai sosok disiplin dan cerdas, Sadaqa memimpin berbagai operasi perlawanan terhadap pos-pos militer Israel, termasuk operasi di pos pemeriksaan Hamra di Lembah Yordan.

Pada 2004, setelah diburu selama dua tahun, pasukan Israel menangkapnya di Kamp Ain, dekat Nablus.

Pengadilan militer Israel menjatuhkan hukuman enam kali penjara seumur hidup ditambah 45 tahun kepada Sadaqa, dengan tuduhan memimpin operasi perlawanan terhadap tentara Israel.

Saat ditahan di pusat interogasi Petah Tikva yang terkenal, ia mengalami penyiksaan fisik dan psikologis selama berbulan-bulan, namun menolak mengaku.

“Samaritan yang Membangkang”

Kisah Sadaqa mengguncang narasi yang selama ini dibangun Israel. Selama puluhan tahun, Israel mempromosikan komunitas kecil warga Palestina Samaria (yang jumlahnya kurang dari 800 orang di seluruh dunia) sebagai contoh “koeksistensi damai” dengan penjajahan.

Namun, pilihan Sadaqa untuk bergabung dalam perlawanan membalikkan gambaran tersebut.

Pejabat Israel menjulukinya sebagai “Samaritan jahat,” sementara warga Palestina memandangnya sebagai bukti bahwa identitas kebangsaan dapat melampaui batas-batas agama.

Israel berulang kali menolak pembebasannya dalam pertukaran tahanan sebelumnya, karena khawatir kisahnya akan menginspirasi generasi berikutnya.

Bagi komunitasnya sendiri, Sadaqa menjadi tokoh yang sekaligus luar biasa dan simbolis.

Ia membuktikan bahwa bahkan seseorang dari kelompok agama terkecil di dunia pun dapat memainkan peran historis dalam perjuangan besar rakyat Palestina untuk kebebasan.

Pemikir di Balik Jeruji

Selama di dalam penjara, Sadaqa dikenal sebagai “sang pemikir.” Ia mengubah selnya menjadi ruang belajar, mengajar sesama tahanan tentang sejarah, identitas, dan perlawanan Palestina.

Ia menulis esai yang secara diam-diam disebarkan melalui surat kabar Palestina dan laporan-laporan hak asasi manusia. Dalam tulisan-tulisannya, ia menyerukan persatuan antar faksi dan menyebut pendidikan sebagai “bentuk perlawanan.”

Meski bertahun-tahun ditempatkan di sel isolasi, semangatnya tak pernah padam. Ia kerap berkata kepada rekan-rekannya sesama tahanan, “Kebebasan bukan hadiah—ia adalah kebenaran yang menunggu untuk diwujudkan.”

Hamas Bebaskan Sadaqa

Setelah 21 tahun di balik jeruji besi, nama Nader Sadaqa akhirnya muncul dalam daftar tahanan Palestina yang akan dibebaskan dalam kesepakatan pertukaran tahanan bertajuk “Banjir Orang-Orang Merdeka” (Flood of the Free). Keluarganya di Gunung Gerizim menyebut momen tersebut sebagai “keajaiban setelah penantian yang tak berujung.”

Namun, otoritas Israel dilaporkan melarangnya kembali ke rumahnya di Nablus, dan justru merencanakan pengasingannya ke luar Tepi Barat, dalam upaya menghapus kehadirannya yang sarat makna simbolik.

Iman Tertua di Palestina

Komunitas Samaria Palestina merupakan kelompok keagamaan kuno dan salah satu yang tertua di kawasan. Keyakinan mereka berbeda dari kelompok Yahudi lain, khususnya dalam hal tempat suci—mereka meyakini Gunung Gerizim, bukan Yerusalem, sebagai tempat yang disucikan.

Kaum Samaria mempertahankan versi tertua dari Taurat, yang diperkirakan berusia sekitar 3.646 tahun dalam kalender Ibrani, dan menjadi bagian penting dari sejarah spiritual Palestina yang kaya dan saling terkait.

Keyakinan Samaria merupakan komunitas agama terkecil di dunia. Sekitar 785 orang Samaria masih hidup hingga kini; sekitar 385 tinggal di puncak Gunung Gerizim—dikenal juga sebagai Gunung Al-Tur—di kota Palestina, Nablus, dan sekitar 400 lainnya tinggal di kota Holon, wilayah pendudukan Palestina yang mereka datangi lebih dari satu abad lalu demi mencari kondisi ekonomi yang lebih baik.

Komunitas ini menjalin hubungan erat dengan warga Palestina lain di Nablus, berbagi dialek lokal, adat sosial, dan ikatan ekonomi.

Kaum Samaria melihat diri mereka sebagai bagian utuh dari rakyat Palestina, dan menolak dikategorikan sebagai Yahudi. Sebagai pengakuan atas status mereka, pemimpin Palestina Yasser Arafat pada 1996 memberikan satu kursi di parlemen Palestina untuk komunitas Samaria.

Namun, komunitas ini juga mengalami tekanan dari pendudukan Israel, yang membagi wilayah tempat tinggal mereka di Gunung Gerizim ke dalam zona-zona militer (A, B, dan C).

Otoritas Israel juga kerap menutup akses ke situs-situs suci Samaria yang dikenal sebagai “Benteng Dunia”, serta melakukan penggalian arkeologis yang dituding bertujuan menghapus jejak kesakralan Gunung Gerizim sebagai tempat suci leluhur bangsa Israel—alih-alih Yerusalem.

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler