Oleh: Saeed Al-Hajj*
Masuknya gencatan senjata di Gaza menandai babak baru yang amat menentukan, bukan hanya bagi Palestina, melainkan juga bagi kawasan dan dunia.
Peristiwa ini dapat dibaca dari berbagai sisi, terutama dari kenyataan yang kini dihadapi warga Gaza, serta arah yang mungkin ditempuh setelah perang berhenti.
Sebagaimana terlihat dari serangkaian pernyataan dan langkah cepat yang menyusul pengumuman rencana perdamaian dan pelaksanaan gencatan senjata.
Rencana Trump dan tujuan terselubung
Rencana “perdamaian” yang diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump tidak lahir dari ruang kosong.
Ia merupakan hasil perhitungan politik dan militer yang panjang, serta penyesuaian yang dilakukan melalui diskusi berulang dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.
Bagi Netanyahu, rencana ini datang sebagai tangga penyelamat—cara untuk turun dari pohon tinggi yang ia panjat sendiri.
Tekanan terhadapnya kian besar: boikot terhadap pidatonya di Majelis Umum PBB, bertambahnya negara-negara yang mengakui Palestina, sanksi ekonomi dan militer dari sejumlah negara, hingga gelombang unjuk rasa besar di ibu kota-ibu kota dunia, khususnya di Eropa.
Di atas semua itu, muncul ancaman hukum yang menjerat Israel dan para pemimpinnya di Mahkamah Internasional dan Mahkamah Pidana Internasional.
Namun yang paling menonjol dari rencana Trump ialah upayanya memberi Netanyahu kemenangan simbolik.
Sesuatu yang gagal dicapai melalui dua tahun perang pemusnahan, blokade, kelaparan, dan upaya pengusiran massal.
Banyak butir dalam rencana itu sejatinya merupakan kelanjutan dari lima syarat keras yang selama ini berusaha dipaksakan Netanyahu kepada rakyat Palestina.
Dengan demikian, keteguhan Gaza—baik perlawanan bersenjata maupun ketabahan rakyatnya—menjadi pintu utama bagi masuknya Trump dan inisiatifnya.
Netanyahu gagal menepati janji-janji perang: ia tidak berhasil membebaskan para tawanan dengan kekuatan militer, tidak mampu memaksa warga Gaza mengungsi, tidak sanggup melumpuhkan gerakan perlawanan.
Bahkan hingga detik-detik terakhir sebelum gencatan senjata, perlawanan masih menimbulkan kerugian bagi tentara Israel dan sempat berusaha menawan lebih banyak serdadu.
Selama dua tahun penderitaan dan kehancuran, warga Gaza tidak berbalik memusuhi perlawanan mereka—kecuali dalam kasus-kasus kecil yang terisolasi.
Meski mengalami pembunuhan, kehilangan, kelaparan, dan pengungsian, mereka tetap teguh.
Ketabahan ini bukan sekadar bukti kesadaran kolektif yang tinggi, melainkan juga sinyal kuat bahwa gencatan senjata dicapai bukan karena kelemahan, melainkan hasil daya tahan yang luar biasa.
Sesaat setelah pengumuman tercapainya kesepakatan dan sebelum deklarasi resmi diberlakukan, ribuan warga mulai kembali ke rumah dan kampung halaman mereka.
Arus balik besar-besaran ini menjadi pemandangan mengharukan—sebuah kisah kepulangan yang sarat makna tentang kesetiaan pada tanah air, sekaligus penolakan terhadap segala proyek pengusiran.
Mereka seperti ingin berkata: Kami tidak akan mengulang naskah Nakba 1948.
Kembalinya warga terjadi meski risiko sangat besar: ranjau, reruntuhan, dan ancaman bom yang tersisa. Banyak yang gugur saat mencoba menembus jalan pulang.
Namun semangat mereka tak surut, justru menegaskan tekad untuk bertahan di tanah sendiri.
Dalam waktu singkat, gencatan senjata membuka tabir kehancuran yang lebih luas—puluhan jenazah ditarik dari puing-puing dalam hitungan jam pertama.
Itu menjadi tanda bahwa catatan penderitaan Gaza belum selesai; bahwa jeda senjata hanyalah awal dari perhitungan yang pahit.
Antara janji dan kecurigaan
Sementara itu, perlawanan Palestina menyambut positif sisi kemanusiaan dari rencana Trump: penghentian perang, pertukaran tawanan, penarikan pasukan Israel, serta masuknya bantuan kemanusiaan.
Namun aspek politiknya—tentang siapa yang akan mengelola Gaza, nasib perjuangan nasional Palestina, dan status senjata perlawanan—masih menjadi sumber kekhawatiran besar.
Kecurigaan itu semakin kuat karena manuver Israel dalam daftar pertukaran tawanan.
Pemerintah Israel mengganti nama-nama, menyelewengkan kriteria, dan menolak membebaskan tokoh-tokoh penting dari berbagai faksi, terutama para pejuang yang terlibat dalam operasi 7 Oktober.
Israel juga menafsirkan secara sempit istilah “hukuman seumur hidup” agar bisa menghapus sebanyak mungkin nama dari daftar pembebasan.
Sejak jam-jam pertama, Israel berusaha menciptakan fakta lapangan dan menekan pihak Palestina dengan menyebar daftar sepihak tentang tawanan yang akan dibebaskan—sebelum ada kesepakatan final dengan mediator.
Mereka juga mulai menarik pasukan dari sebagian wilayah Gaza untuk menampilkan seolah-olah kesepakatan sudah berjalan, padahal belum.
Tujuannya: memaksa perlawanan menerima kondisi yang belum disepakati, atau bila menolak, menudingnya sebagai pihak penghambat perdamaian, dengan ancaman melanjutkan agresi.
Bahkan, Netanyahu secara terbuka menegaskan bahwa gencatan senjata bukan berarti akhir dari perang.
“Kami akan terus bekerja mencapai tujuan perang: mengembalikan semua sandera, menghancurkan pemerintahan Hamas, dan memastikan Gaza tidak lagi menjadi ancaman bagi Israel,” ujarnya.
Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, juga menginstruksikan militernya bersiap “menghancurkan terowongan setelah sandera kembali.”
Sementara Kepala Staf Militer, Eyal Zamir, menegaskan, “Perang belum berakhir; yang selesai hanyalah tahap pertama.”
Sebaliknya, pihak Palestina menunjukkan sikap yang jauh lebih terbuka. Kesediaan cepat mereka untuk menghentikan perang, fleksibilitas dalam isu tawanan, dan komitmen mencegah pengusiran massal menunjukkan prioritas utama mereka adalah menyelamatkan nyawa dan menghentikan pertumpahan darah.
Upaya memperkuat posisi tawar juga tampak jelas. Perlawanan mengikutsertakan Jihad Islam dan Front Populer dalam tim negosiasi, mengeluarkan pernyataan bersama, dan tampil dengan suara yang relatif satu.
Bahkan Trump sendiri memuji “kecerdasan dan pengalaman” para negosiator Palestina.
Banyak pihak memandang perang benar-benar akan berakhir. Urutan peristiwanya—dari peluncuran rencana, sambutan positif dari Hamas dan faksi-faksi, hingga gencatan senjata yang dipuji para mediator—membangkitkan harapan akan berakhirnya kekerasan.
Ditambah lagi dengan rencana digelarnya KTT internasional di Sharm el-Sheikh, Mesir, yang akan membahas pemulihan Gaza.
Namun, pernyataan ambigu dari pejabat Israel dan jawaban mengambang dari Trump soal jaminan berakhirnya perang menimbulkan kekhawatiran baru: mungkinkah gencatan senjata ini hanya jeda sementara sebelum babak berikutnya dimulai?
Ada kekhawatiran Israel akan kembali menekan perlawanan setelah urusan pertukaran tawanan selesai.
Tekanan itu bisa berupa desakan pelucutan senjata, pembubaran faksi-faksi, dan pengawasan ketat terhadap keamanan serta pemerintahan di Gaza.
Perlu diingat, para tawanan bukan satu-satunya alasan perang. Mereka hanya menjadi dalih di antara banyak alasan lain yang bisa digunakan Israel untuk melanjutkan agresi.
Dengan kata lain, setelah para tawanan dikembalikan, sangat mungkin Israel akan mencari dalih baru untuk kembali menekan Gaza.
Apakah perang dapat kembali seperti sebelumnya? Secara teori, kecil kemungkinannya. Namun yang lebih mungkin terjadi adalah pola serangan ala “model Lebanon”.
Yakni pelanggaran sporadis terhadap kesepakatan: pembunuhan terarah, serangan udara terbatas, atau penetrasi militer dengan alasan “keamanan” atau “kebebasan bergerak”.
Skenario lain yang mungkin adalah Israel akan menunda pelaksanaan butir-butir penting perjanjian—seperti penarikan pasukan, masuknya bantuan, dan pembersihan puing-puing—sehingga krisis kemanusiaan kian dalam.
Dalam kondisi Gaza yang nyaris tak layak huni, tekanan ekonomi dan sosial dapat mendorong sebagian warga untuk “secara sukarela” meninggalkan wilayah itu.
Ada pula strategi lain yang tampaknya sudah dijalankan sejak awal penarikan pasukan: menciptakan kekacauan internal.
Israel disebut berusaha menghidupkan kembali kelompok kriminal dan jaringan kolaborator di lapangan untuk menciptakan ketegangan sosial dan melemahkan perlawanan dari dalam.
Dengan begitu, Israel dapat menunda distribusi bantuan, menyalahkan pihak Palestina atas kekacauan, dan bahkan menggunakan situasi itu sebagai pembenaran untuk kembali menyerang.
Selain itu, tekanan diplomatik juga diperkirakan meningkat—terutama terkait usulan menempatkan pasukan Arab atau internasional di Gaza, serta wacana menyingkirkan Hamas dari pembicaraan politik tahap lanjut.
Bagi rakyat Gaza, gencatan senjata ini tetap menjadi capaian besar. Kegembiraan mereka tak bisa diukur, meski kehidupan yang menanti masih jauh dari normal.
Pulang ke rumah yang rata dengan tanah tetap lebih baik daripada mengembara tanpa arah.
Namun, sejarah panjang pengkhianatan Israel dan perubahan sikap Washington membuat kebahagiaan itu diselimuti kewaspadaan.
Gencatan senjata belum tentu perdamaian, dan perang bisa berganti rupa tanpa mengubah tujuan.
Karena itu, kehati-hatian menjadi kata kunci di setiap tahap kesepakatan. Dunia Arab dan Islam dituntut untuk tidak berhenti pada ucapan selamat, melainkan memastikan penerapan yang adil dan melindungi Gaza dari jebakan baru.
Negara-negara yang terlibat dalam rencana Trump, terlebih yang mengaku mendukungnya, kini memiliki tanggung jawab moral dan politik: menjaga agar darah Gaza benar-benar berhenti mengalir, bukan sekadar mengering di atas reruntuhan.
*Saeed Al-Hajj merupakan peneliti urusan Turki, isu Palestina, dan urusan regional. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Mādzā Tukhbirunā al-Sā’āt al-Ūlā Liwaqfi Iṭhlāq al-Nār ‘An Ghazah?”.

