Monday, August 11, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI - Apakah Hamas gagalkan rencana Netanyahu?

OPINI – Apakah Hamas gagalkan rencana Netanyahu?

Oleh: Dr. Omar Abdullah*

Perlawanan di Gaza—dan di seluruh Palestina—bukanlah fenomena yang muncul secara tiba-tiba.

Ia merupakan konsekuensi alami dari keberadaan pendudukan yang telah mengakar sejak awal abad ke-20, berganti rupa melalui berbagai nama, organisasi, dan gelombang perlawanan rakyat.

Dua peristiwa besar—Nakba 1948 dan 1967—tidak memadamkan api perlawanan itu. Justru, perjuangan rakyat Palestina semakin terorganisasi dan sistematis melalui aksi-aksi bersenjata melawan kehadiran Israel.

Perlawanan itu berlangsung tanpa henti selama bertahun-tahun, meski bentuknya berubah seiring waktu.

Puncaknya, pada 1987, meletus Intifada Pertama. Gelombang perlawanan rakyat itu berlangsung sekitar tujuh tahun, disertai maraknya serangan-serangan istisyhad (aksi bom bunuh diri) yang membuat Perdana Menteri Israel saat itu, Yitzhak Rabin, mengakui.

“Saya tidak bisa menghentikan seseorang yang ingin mati,” katanya.

Intifada ini masuk ke dalam kosakata politik Arab dan Barat, menjadi mimpi buruk yang terus menghantui Israel. Di mata Tel Aviv, ia harus “dijinakkan”.

Ketika delegasi Palestina tengah duduk di meja perundingan Madrid untuk memetik hasil terbaik dari Intifada, di ruang-ruang tertutup Norwegia berlangsung negosiasi rahasia antara Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Israel.

September 1993, dunia dikejutkan oleh Deklarasi Prinsip yang dikenal sebagai Perjanjian Oslo.

Dalam perjanjian itu, PLO meninggalkan konsep perjuangan bersenjata dan mengakui legalitas keberadaan Israel.

Piagam organisasi diubah, dengan alasan strategi bertahap, taktik, dan prinsip “ambil dulu, tuntut kemudian”.

Yang paling berbahaya dari Oslo ialah kenyataan bahwa pihak yang memiliki hak—rakyat Palestina—memberikan legitimasi kepada pihak pendudukan, sekaligus mengakui keberadaannya di tanah Palestina.

Salah satu klausul Oslo adalah penyelenggaraan pemilu Palestina pada 1996 untuk memilih Presiden Otoritas Palestina dan anggota Dewan Legislatif.

Kala itu, Hamas dan Jihad Islam sepakat memboikot pemilu karena menganggapnya produk Oslo.

Pemilu akhirnya dimenangkan oleh Yasser Arafat, yang menjadi Presiden Otoritas Palestina.

Sepuluh tahun berselang, di tengah hubungan yang naik-turun antara faksi-faksi perlawanan—terutama yang berhaluan Islam—dan Otoritas Palestina, digelar pemilu kedua pada 2006.

Hamas kali ini memutuskan ikut serta, berupaya memadukan perlawanan dan pemerintahan, meniru model Hizbullah di Lebanon jika berhasil memenangkan suara rakyat.

Hasilnya mengejutkan semua pihak: Hamas meraih mayoritas kursi Dewan Legislatif dan berhak membentuk pemerintahan.

Bagi para perancang Oslo, kemenangan ini adalah kemunduran. Sejak itu, berbagai upaya dilakukan untuk menghambat roda pemerintahan Hamas.

Syarat demi syarat dilontarkan, baik dari Barat maupun sebagian negara Arab: jika ingin terlibat dalam politik, Hamas harus mengakui “Negara Israel”.

Hamas menolak. Tekanan pun meningkat, terutama dari aparat keamanan Otoritas Palestina yang melancarkan penangkapan, penyiksaan, perburuan hukum, hingga vonis penjara panjang bagi anggota Hamas dan Jihad Islam.

Titik balik terjadi pada 2007, ketika Hamas menolak keputusan-keputusan Otoritas Palestina, khususnya yang terkait keamanan.

Bentrokan bersenjata pun pecah di Jalur Gaza antara aparat keamanan Otoritas Palestina dan pejuang Hamas.

Konflik berujung pada penguasaan penuh Hamas atas Gaza. Sejak saat itu, blokade ketat terhadap wilayah tersebut diberlakukan—blokade yang masih mencekik hingga kini.

Awal dan persiapan menuju “Thaufan al-Aqsha”

Hamas adalah gerakan perlawanan yang berlandaskan ideologi religius, tetapi memberikan ruang bagi ijtihad politik sesuai prinsip syariah dan perubahan realitas.

Struktur organisasinya kokoh, berakar jauh sebelum pendiriannya secara resmi, dengan pengalaman panjang mengelola institusi sosial di Gaza di bawah berbagai wadah dan nama.

Sejak mengambil alih pemerintahan di Gaza, terlihat jelas bahwa Hamas memiliki proyek perlawanan dengan visi yang tegas. Suatu visi yang kemudian memperlihatkan efektivitasnya dalam Thaufan al-Aqsha.

Begitu terbebas dari tekanan aparat keamanan Otoritas Palestina di Gaza, Hamas mulai menggarap proyek perlawanan secara sistematis melalui langkah-langkah berikut:

  1. Membangun manusia—baik prajurit maupun komandan—secara ideologis, spiritual, dan fisik, sehingga siap menghadapi tentara Israel dalam konfrontasi apa pun yang akan datang.
  2. Menggali dan membangun jaringan terowongan sepanjang ratusan kilometer, yang terbukti efektif dalam setiap perang di Gaza, termasuk dalam Badai al-Aqsa.
  3. Memberikan kebebasan bergerak yang lebih luas bagi seluruh faksi perlawanan, termasuk menyediakan lahan latihan militer bagi para pejuang, khususnya dari Jihad Islam.
  4. Mengembangkan persenjataan dan peralatan tempur—mulai dari roket, bom rakitan, mortir, hingga pesawat nirawak.
  5. Memburu jaringan mata-mata Israel di Gaza, sehingga mempersempit ruang gerak intelijen Israel melalui strategi keamanan ofensif, bukan sekadar defensif.

Namun, pola kerja baru Hamas ini justru memicu peningkatan blokade dan tekanan, disertai upaya sistematis untuk menghancurkan gerakan itu beserta seluruh kekuatan perlawanan di Gaza. Serangkaian perang pada 2008, 2012, dan 2014 menjadi bagian dari strategi tersebut.

Dua proyek yang bertolak belakang

Siapa pun yang mengikuti perkembangan Palestina dengan objektif dapat melihat perbedaan mendasar antara proyek politik Otoritas Palestina di Ramallah dan proyek perlawanan di Gaza maupun Palestina secara umum. Perbedaan itu berakar pada 2 hal:

  1. Latar belakang politik dan ideologi masing-masing kubu.
  2. Perjanjian-perjanjian yang mengikat tangan rakyat Palestina, khususnya Oslo.

Proyek pertama—yakni yang diusung Otoritas Palestina—berbasis pada hidup berdampingan dan berdamai dengan Israel, serta menerima keberadaan negara itu di tanah Palestina.

Sementara proyek kedua—yakni proyek perlawanan—bertujuan mengusir pendudukan, membebaskan Palestina, dan menyingkirkan Israel sepenuhnya.

Lantas, apa hubungan Thaufan al-Aqsha dengan proyek nasional Palestina dan gagasan Timur Tengah Baru?

Sebelum menjawabnya, perlu ditegaskan bahwa serangan tersebut telah mematahkan—untuk selamanya—mitos keperkasaan Israel.

Selama puluhan tahun, dunia, khususnya dunia Arab dan Islam, digiring untuk percaya bahwa Israel adalah kekuatan tak terkalahkan. Thaufan al-Aqsha memecahkan persepsi itu.

Artinya, mengalahkan Israel bukan lagi sesuatu yang mustahil. Jika Gaza, dengan perlawanan dan dukungan rakyatnya sendiri, mampu mengguncang mitos “tentara yang tak terkalahkan”.

Bayangkan apa yang dapat terjadi jika ada proyek nasional yang menyatukan seluruh elemen Palestin. Didukung gerakan-gerakan pembebasan di dunia Arab dan Islam yang berkomitmen pada pembebasan Palestina.

Di sinilah pertanyaan tentang Thaufan al-Aqsha dan kaitannya dengan Timur Tengah Baru menemukan relevansinya.

Thaufan al-Aqsha, titik balik dalam konflik

Beberapa waktu sebelum meletusnya Thaufan al-Aqsha, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, berdiri di hadapan Majelis Umum PBB sambil mengangkat peta “Timur Tengah Baru” versi dirinya.

Ia selama ini gencar mengampanyekan visi untuk mengubah wajah kawasan menjadi wilayah yang bersih dari seluruh gerakan perlawanan—dengan Israel sebagai kekuatan terbesar, baik dari sisi luas wilayah, kekuatan militer, maupun pengaruh politik.

Namun, sayap militer Hamas, Brigade al-Qassam, menyebut bahwa mereka memiliki informasi akurat tentang rencana Israel melancarkan serangan besar.

Dimulai dari Gaza lalu menyasar kawasan, untuk menghantam semua kekuatan yang menentang ekspansi negara pendudukan itu.

Hamas pun memutuskan mengambil inisiatif. Pada fajar 7 Oktober 2023, mereka memulai Badai al-Aqsa—sebagai respons langsung atas rencana Israel, sekaligus upaya menggagalkan mimpi Netanyahu menggambar ulang peta Timur Tengah.

Hingga kini, dapat dikatakan bahwa operasi itu setidaknya berhasil menunda dan mengacaukan pelaksanaan proyek “Timur Tengah Baru” meski Israel melancarkan serangan brutal terhadap perlawanan.

Membangun di atas pondasi badai

Meski rakyat Palestina membayar harga yang amat mahal, momentum Badai al-Aqsa harus dimanfaatkan dan dikembangkan. Langkah itu dapat dilakukan di dua ranah.

Pertama, di dalam Palestina. Menghidupkan kembali proyek nasional pembebasan Palestina, dengan memperluas jangkauannya hingga mencakup seluruh spektrum politik yang memiliki komitmen pada perlawanan.

Hambatan-hambatan yang mungkin ditimbulkan pihak-pihak tertentu harus diatasi, termasuk klaim bahwa revitalisasi proyek ini dimaksudkan untuk menggantikan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).

Justru, prinsip dasarnya adalah memulihkan PLO sebagai rumah bersama bagi seluruh rakyat Palestina, di bawah payung perjuangan melawan pendudukan.

Kedua, di luar Palestina. Jika terbentuk proyek nasional yang solid—sebaiknya tetap di bawah naungan PLO—maka aktivitas eksternal akan menjadi langkah pelengkap.

Ini mencakup kerja sama dengan seluruh gerakan pembebasan yang mendukung kemerdekaan Palestina, serta dengan pemerintah yang bersedia memihak perjuangan itu.

Kerja sama tersebut harus berada dalam bingkai nasional yang terkoordinasi oleh lembaga representatif yang sah, sehingga memudahkan koordinasi dan memperkuat capaian-capaian politik maupun diplomasi.

Beban terberat proyek ini adalah menggalang dukungan dari negara-negara yang konsisten terhadap Palestina, dengan berpegang pada semangat kerja kolektif yang terwujud dalam semboyan: “Palestina Menyatukan Kita”.

Syarat sukses proyek Timur Tengah baru

Untuk mewujudkan proyek “Timur Tengah Baru”, ada tiga prasyarat yang harus dipenuhi:

  1. Adanya kemauan dan tekad politik dari para penggagasnya.
  2. Dukungan dari pemerintahan yang sejalan, serta lenyapnya gerakan perlawanan dari peta politik.
  3. Menghilangnya peran aktif massa rakyat dalam menghadang proyek tersebut.

Badai al-Aqsa telah membalik sebagian peta itu. Perlawanan tetap eksis di medan tempur, terutama di Gaza.

Kehadiran rakyat di berbagai arena perjuangan pun kembali terasa, meski kadarnya naik-turun sesuai situasi.

Adapun soal dukungan pemerintahan, hal itu menjadi bagian dari tanggung jawab sejarah yang terus diingatkan oleh proyek nasional pembebasan kepada para pemimpin Arab dan Muslim.

Sementara pada faktor kemauan politik para pendukung “Timur Tengah Baru”, hingga kini perlawanan berhasil memperlambat bahkan menggagalkan langkah mereka.

Penutup

Gagasan mengalahkan Israel bukanlah utopia. Thaufan al-Aqsha membuktikan hal itu. Dalam sunnatullah, perubahan selalu mungkin terjadi, dan salah satu ketentuannya adalah:

“Jika kamu berpaling, Dia akan mengganti kamu dengan kaum yang lain, lalu mereka tidak akan seperti kamu.”

Membangun kembali proyek nasional Palestina melalui PLO, dengan fondasi pembebasan tanah air, adalah jawaban paling tegas terhadap kebohongan dan kematian yang disebarkan proyek kolonialisme Zionis beserta pendukungnya di Barat.

Demi generasi mendatang, kerja dan ketekunan harus terus berjalan—meski kemenangan mungkin tidak kita saksikan dengan mata sendiri.

Cukuplah kehormatan bagi mereka yang tetap teguh memegang bara agama dan bara tanah air, hingga berjumpa dengan Tuhan dalam keadaan demikian.

*Dr. Omar Abdullah adalah analis politik dan peneliti strategis yang berspesialisasi dalam urusan Palestina. Sebagai profesor paruh waktu di beberapa universitas Palestina, beliau meraih gelar doktor dalam psikologi politik. Beliau adalah seorang analis politik dan peneliti strategis yang berspesialisasi dalam urusan Palestina.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular