Saturday, August 2, 2025
HomeBaitul MaqdisOPINI - Pengakuan Palestina tanpa tindakan nyata hanyalah deklarasi kosong

OPINI – Pengakuan Palestina tanpa tindakan nyata hanyalah deklarasi kosong

Oleh: Dr. Mustafa Fetouri 

Pada bulan September mendatang, Prancis berencana secara resmi mengakui Negara Palestina—bergabung dengan sejumlah negara Uni Eropa lainnya, termasuk yang terbaru seperti Spanyol, Norwegia, dan Irlandia, serta Inggris yang juga tengah menempuh jalur serupa. Secara keseluruhan, kini sepuluh negara anggota Uni Eropa telah mengakui Palestina berdasarkan perbatasan tahun 1967.

Dalam pengumuman pada 24 Juli, Presiden Emmanuel Macron menyatakan bahwa langkah ini merupakan kontribusi terhadap perdamaian di Timur Tengah, dan bahwa Prancis, bersama “Israel, Palestina, serta mitra Eropa dan internasional,” dapat menunjukkan bahwa perdamaian memang “mungkin.”

Namun, seperti banyak pernyataan serupa sebelumnya, pernyataan Macron mengabaikan kenyataan utama: pengakuan semata tidak pernah membawa rakyat Palestina lebih dekat kepada kenegaraan sejati atau mengakhiri pendudukan Israel. Ini sangat menyakitkan terutama mengingat peran historis Inggris dalam menanam benih terbentuknya Israel melalui Deklarasi Balfour dan Mandat Inggris—tindakan-tindakan yang memicu konflik kompleks dan tragis yang hingga kini belum terselesaikan.

Kenyataannya tetap pahit: meskipun telah diakui oleh 147 dari 193 negara anggota PBB, Palestina masih belum menjadi negara merdeka sepenuhnya atau anggota penuh PBB. Sebagian besar pengakuan itu datang setelah Deklarasi Kemerdekaan Palestina tahun 1988, namun mayoritas berhenti di situ. Hanya sedikit negara yang menindaklanjuti dengan langkah nyata untuk mengubah pengakuan menjadi kedaulatan yang sesungguhnya. Akibatnya adalah puluhan tahun deklarasi kosong, yang justru memungkinkan Israel memperkuat pendudukannya, sementara dunia memuji dirinya sendiri atas gestur simbolik.

Kegagalan ini berakar dari kesalahpahaman berbahaya: bahwa pengakuan di atas kertas adalah tujuan akhir, bukan alat untuk mewujudkan kenegaraan Palestina. Hampir setiap negara anggota PBB—termasuk Amerika Serikat—mengklaim mendukung solusi dua negara. Namun mereka menolak bertindak ketika Israel secara konsisten bekerja untuk membuat solusi itu mustahil tercapai. Pemerintah Israel saat ini menjadikan penghancuran kemungkinan kedaulatan Palestina sebagai misi politik.

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu membangun seluruh kariernya dengan menolak negara Palestina, dan kelangsungan politiknya kini bergantung pada sikap keras itu. Dunia telah melihat siapa dia melalui peristiwa di Gaza: seorang politisi pendendam yang mengabaikan opini internasional, nyawa rakyat Palestina, bahkan reputasi jangka panjang Israel sendiri. Tak ada yang sungguh-sungguh mengharapkan dia untuk bernegosiasi; bagi Netanyahu, pilihannya hanya satu: kehendaknya atau tidak sama sekali.

Pertanyaannya kini bukan lagi apakah negara-negara harus mengakui negara Palestina, tapi apa yang akan dihasilkan dari pengakuan itu. Terlalu sering, pemerintah menggunakan pengakuan sebagai cara murah untuk menunjukkan keprihatinan moral, sembari menghindari tugas yang jauh lebih sulit: menghadapi pendudukan Israel—yang telah dinyatakan ilegal oleh Mahkamah Internasional, dengan keputusan yang mengikat bagi semua anggota PBB.

Simbolisme kosong semacam ini telah menjadi pengganti tindakan nyata. Kecuali jika pengakuan disertai dengan langkah konkret yang memaksa Israel menghormati kedaulatan Palestina, maka semua itu hanya akan menjadi sandiwara politik tanpa dampak di lapangan.

Tujuannya harus lebih dari sekadar pengakuan di atas kertas; yang dibutuhkan adalah pembentukan negara Palestina yang berdaulat, layak, berkesinambungan, dan benar-benar merdeka. Negara seperti ini tidak akan muncul dalam kekosongan politik.

Diperlukan tekanan berkelanjutan dan terkoordinasi dari kekuatan global utama untuk memaksa Israel menerima kedaulatan Palestina dalam jangka waktu yang jelas dan dapat ditegakkan. Tanpa kemauan internasional yang tegas, pengakuan hanya akan menjadi deklarasi kosong—menyesatkan rakyat Palestina dengan harapan yang tidak pernah terwujud.

Konferensi terbaru di New York, yang dihadiri oleh perwakilan dari lebih dari 125 negara anggota PBB, menegaskan satu kenyataan penting: Arab Saudi tidak akan menormalisasi hubungan dengan Israel “kecuali sebuah negara Palestina yang merdeka diakui.”

Mengingat bobot politik Arab Saudi dan harapan besar Israel untuk normalisasi, ini merupakan kekalahan politik dan moral besar bagi Netanyahu, yang percaya bahwa kesepakatan seperti Abraham Accords dengan Riyadh hanya tinggal menunggu waktu.

Namun, pernyataan akhir konferensi—yang dikenal sebagai “Deklarasi New York”—menghancurkan harapan tersebut. Sikap tegas Riyadh secara efektif menghapus ilusi bahwa Kesepakatan Abraham bisa diperluas—aspirasi yang telah lama dikampanyekan oleh Netanyahu. Sebagai pemain kunci di kawasan, posisi Arab Saudi menandakan adanya konsensus yang tumbuh bahwa isu Palestina bukanlah masalah pinggiran yang bisa dilewati, tetapi inti dari stabilitas kawasan.

Perkembangan ini menunjukkan kebutuhan mendesak untuk mengakhiri dominasi Amerika Serikat atas proses perdamaian di Timur Tengah. Selama puluhan tahun, Washington bertindak sebagai mediator tunggal—yang sering dianggap berat sebelah—dan hasilnya adalah proses yang stagnan dan gagal menghasilkan solusi permanen.

Sudah saatnya peran eksklusif ini diakhiri atau setidaknya dibagi dengan aktor global berpengaruh lainnya, khususnya kekuatan Eropa seperti Prancis dan Inggris. Seperti yang saya tekankan dalam artikel saya di MEMO, Eropa harus menegaskan kebijakan luar negerinya sendiri yang didasarkan pada hukum internasional dan keadilan, bukan sekadar mengikuti agenda Washington. Pendekatan diplomatik multipolar—dengan memanfaatkan berbagai kekuatan dan perspektif—sangat penting untuk memecah kebuntuan dan mendorong perdamaian.

Israel harus dipahami bahwa mereka tidak kebal terhadap hukum internasional dan akan dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya. Inggris dan Prancis, khususnya, harus mengirim pesan yang jelas: kali ini mereka serius, dan bergantung pada dominasi AS atas proses perdamaian bukan lagi pilihan.

Beberapa negara, seperti Italia, berpendapat bahwa mengakui negara Palestina sebelum negara itu sepenuhnya terbentuk adalah langkah kontra-produktif. Namun argumen ini, sejujurnya, nyaris tak masuk akal. Sejarah menunjukkan berbagai preseden di mana pengakuan internasional mendahului kontrol wilayah penuh atau pembangunan negara secara menyeluruh.

Misalnya, Sudan Selatan diakui secara luas oleh komunitas internasional pada tahun 2011 sebelum berhasil membangun pemerintahan yang stabil atau menyelesaikan semua sengketa teritorial. Timor Leste juga memperoleh pengakuan internasional luas saat masih dalam proses pemulihan dari konflik dan pembangunan institusi negara.

Bahkan Israel diakui oleh kekuatan besar dunia sebelum batas-batas wilayahnya difinalisasi atau semua wilayah yang diklaimnya dikuasai sepenuhnya. Dalam setiap kasus, pengakuan bukanlah hadiah bagi negara yang telah terbentuk sepenuhnya, melainkan tindakan politik yang menegaskan legitimasi dan memberikan momentum bagi pembangunan negara dan keterlibatan internasional. Menolak jalan yang sama bagi Palestina adalah standar ganda terang-terangan yang mempertahankan status tanpa-negara mereka.

Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh mendiang Ghassan Kanafani, intelektual dan penulis Palestina yang dibunuh oleh Israel di Beirut pada Juli 1972: ‘Perjuangan Palestina bukan hanya perjuangan bagi rakyat Palestina, tapi perjuangan bagi setiap revolusioner, di mana pun mereka berada, karena ini adalah perjuangan kaum tertindas dan dieksploitasi di zaman kita.’

Demikian pula, kata-kata mendalam Nelson Mandela tetap relevan: “Kami tahu benar bahwa kebebasan kami tidak akan lengkap tanpa kebebasan bagi rakyat Palestina.” Kata-kata ini menekankan keterhubungan global antara keadilan dan kebebasan, mengingatkan kita bahwa pembebasan Palestina tidak terpisahkan dari perjuangan global melawan penindasan.

Gelombang terbaru negara-negara Barat yang bergerak menuju pengakuan negara Palestina adalah perkembangan yang patut disambut, meskipun telah lama tertunda. Namun makna sejatinya tidak terletak pada tindakan pengakuan itu sendiri, melainkan pada bagaimana pengakuan itu digunakan secara strategis—sebagai pemicu menuju kenegaraan sejati.

Hal ini menuntut agar pengakuan disertai dengan tekanan internasional yang kuat, proses mediasi yang lebih beragam, dan komitmen yang teguh terhadap lahirnya negara Palestina yang bebas, merdeka, dan berdaulat. Segala hal di bawah itu hanyalah simbolisme belaka, dan simbolisme tanpa substansi tidak akan membawa perdamaian maupun kemerdekaan yang sangat layak diperoleh rakyat Palestina.

Mustafa Fetouri adalah seorang akademisi dan jurnalis lepas Libya. Ia adalah penerima penghargaan Kebebasan Pers Uni Eropa. Artikel ini diambil dari opininya di Middle East Monitor.

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular