Thursday, November 6, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI - Rencana Trump dan strategi penghapusan Palestina

OPINI – Rencana Trump dan strategi penghapusan Palestina

Oleh: Mohsen Muhammad Saleh*

Sebelum meletusnya serangan “Thaufan Al-Aqsha” pada 7 Oktober tahun lalu, upaya untuk menghapus Palestina sejatinya telah berjalan lama.

Beberapa hari sebelum peristiwa itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berdiri di mimbar PBB dengan sikap angkuh, menampilkan peta yang mencakup seluruh wilayah Palestina historis—termasuk Tepi Barat dan Jalur Gaza—dengan tulisan besar: “Israel”. Namun, peristiwa 7 Oktober menghentikan laju proyek itu.

Dampak dari peristiwa itu memang besar, dan harga yang dibayar rakyat Gaza amat mahal. Tetapi, satu hal pasti: “Thaufan Al-Aqsha” menggagalkan upaya penghapusan Palestina dari peta politik dunia.

Palestina kembali menjadi isu global utama, narasi Zionis runtuh, dan Israel berubah menjadi entitas yang terisolasi dan dipandang negatif di berbagai belahan dunia.

Peristiwa itu bahkan mendorong gelombang pengakuan internasional terhadap Negara Palestina—termasuk dari negara-negara di jantung Eropa Barat yang selama ini bersahabat erat dengan Israel.

Kini, upaya baru sedang digerakkan: rencana Trump yang hendak mengembalikan situasi ke jalur semula.

Jalur yang secara perlahan namun pasti akan menyingkirkan Palestina dari panggung sejarah, bukan sekadar melemahkan perlawanan bersenjata.

Rencana Trump pada dasarnya sejalan dengan “rencana penyelesaian” Israel, yang menjadi dasar pembentukan pemerintahan paling ekstrem dalam sejarah negara itu pada akhir 2022—sembilan bulan sebelum peristiwa 7 Oktober.

Pemerintahan koalisi itu dipimpin Netanyahu bersama kelompok “Zionisme Religius” di bawah Bezalel Smotrich dan Itamar Ben-Gvir.

Keduanya memiliki misi yang jelas: menuntaskan soal Masjid Al-Aqsa, Yerusalem, dan Tepi Barat.

Smotrich diberi posisi di Kementerian Pertahanan untuk mengendalikan administrasi sipil di Tepi Barat, termasuk urusan permukiman Yahudi dan proyek Yahudisasi.

Sementara Ben-Gvir, yang memimpin Kementerian Keamanan Nasional (sebelumnya Kementerian Dalam Negeri), menangani langsung soal Yerusalem, penggerebekan ke kompleks Al-Aqsha, penindasan terhadap warga Palestina, serta program persenjataan bagi kelompok pemukim bersenjata.

Agenda itu bermuara pada aneksasi bertahap Tepi Barat, pembubaran atau pelemahan Otoritas Palestina menjadi sekadar kanton-kanton terpisah, dan menghapus segala bentuk simbol kedaulatan Palestina.

Proses “perdamaian” yang disebut-sebut sebagai jalan keluar justru menjadi selubung bagi proyek penjajahan.

Yaitu Israel melanjutkan perluasan permukiman dan penguasaan tanah di bawah naungan Perjanjian Oslo.

Begitu perjanjian itu dianggap selesai fungsinya, Netanyahu terang-terangan menyatakan niat untuk “melampauinya” dan menutup seluruh “berkas Palestina”.

Karenanya, mereka yang masih percaya bahwa solusi dua negara dapat lahir dari penyingkiran perlawanan Palestina sesungguhnya keliru.

Tiga dekade proses negosiasi membuktikan hal sebaliknya: jalan damai yang tanpa tekanan dan kekuatan hanya menjadi alat penundaan bagi proyek kolonial.

Rencana Trump untuk Gaza bukan sekadar menghentikan perang atau melucuti senjata Hamas.

Lebih jauh dari itu, rencana ini ingin mengembalikan jalur politik Palestina ke orbit “perdamaian semu”—jalur yang dikendalikan sepenuhnya oleh Israel, tanpa ruang bagi rakyat Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri.

Jika ini terjadi, Israel akan kembali menikmati posisi nyaman untuk melanjutkan “penghapusan senyap” terhadap Palestina, sebagaimana yang sudah tampak sebelum “Badai Al-Aqsa”.

Rencana itu memperlakukan rakyat Palestina seolah bangsa yang belum dewasa, tidak layak mengatur diri sendiri, bahkan menolak mengakui keberadaan mereka sebagai bangsa yang memiliki identitas, hak politik, dan hak hukum untuk menentukan nasibnya.

Dalam hitungan hari saja, rencana Trump berhasil mengalihkan fokus dunia.

Dari tekanan keras terhadap Israel—yang mulai menghadapi isolasi internasional dan tuntutan pengakuan terhadap Palestina—menjadi tekanan terhadap perlawanan Palestina.

Tujuannya agar menyerahkan jenazah sandera, melucuti senjata, dan menerima pengaturan keamanan yang dikontrol Israel.

Sementara itu, isu utama seperti penarikan penuh tentara Israel dari Gaza, pencabutan blokade, dan rekonstruksi wilayah justru tersingkir dari prioritas global.

Pengawasan perbatasan tetap berada di tangan Israel, pelanggaran-pelanggaran baru diabaikan, dan pembunuhan terencana terhadap para pemimpin perlawanan berlangsung tanpa kecaman berarti.

Di sisi lain, muncul upaya sistematis untuk membangun kelompok-kelompok pro-Israel di dalam Gaza, yang kemudian dipoles sebagai “alternatif nasional” bagi pemerintahan perlawanan.

Dalam waktu dekat, akan muncul langkah-langkah baru yang dipimpin Amerika Serikat dan Israel untuk “menghapus Hamas dengan cara yang nyaman”, menciptakan situasi serupa seperti yang terjadi di Lebanon—atau bahkan lebih buruk.

Ketika perang resmi dinyatakan selesai, medan pertempuran bergeser ke fase baru: upaya mencekik, menyingkirkan, dan mendiskreditkan perlawanan, sambil melancarkan operasi pembunuhan terhadap para pemimpinnya, tanpa memberi hak untuk membela diri.

Bagi Hamas, ini bukan sekadar soal eksistensi organisasi. Pertaruhan yang sesungguhnya adalah eksistensi Palestina itu sendiri.

Sebab, penghapusan Hamas bukan hanya tentang menghancurkan kelompok perlawanan, melainkan bagian dari strategi untuk menghapus Palestina sebagai bangsa dan entitas politik.

Selama dua tahun terakhir, rakyat Gaza dan kelompok perlawanan telah menunjukkan keteguhan dan pengorbanan luar biasa di tengah puncak kebrutalan Israel-Amerika dan lemahnya reaksi dunia Arab dan Islam.

Mereka menerima hanya sebagian dari rencana Trump—bagian yang terkait dengan penghentian perang, mencegah pengusiran massal, membuka jalur bantuan, rekonstruksi, dan pertukaran tahanan.

Namun, kelemahan datang dari sejumlah rezim Arab yang gagal membedakan antara aspek positif dan jebakan politik dalam rencana tersebut.

Sebagian bahkan memberikan legitimasi bagi pelaksanaannya, menjadikannya landasan untuk memaksakan skenario Israel-Amerika atas masa depan Gaza.

Sikap ambigu itu menempatkan perlawanan pada posisi sulit. Seharusnya, negara-negara Arab tampil jelas dan tegas dalam membela hak-hak dasar dan kedaulatan rakyat Palestina.

Tentu, tidak semua negara Arab dan Islam bersikap sama. Ada yang memberikan dukungan kemanusiaan, politik, dan diplomatik; ada yang menahan tekanan besar dan membuka ruang solidaritas public.

Tetapi ada pula yang justru mempersempit simpati rakyatnya, mengkriminalkan dukungan terhadap perlawanan, bahkan ikut serta dalam kampanye delegitimasi terhadap Gaza.

Peran yang Hilang dari Ramallah

Yang paling mencolok adalah sikap kepemimpinan Otoritas Palestina di Ramallah. Di tengah marginalisasi yang semakin nyata, mereka justru berupaya keras mencari tempat dalam “restu Trump”.

Padahal, mereka bahkan tidak diundang berpidato di PBB, tak dilibatkan dalam konferensi Sharm el-Sheikh yang membahas masa depan Gaza, dan sama sekali diabaikan dalam rancangan pengaturan pascaperang.

Namun, mereka tetap berusaha keras menunjukkan kesetiaan agar diakui sebagai pihak yang “layak dipercaya”.

Sebagai bukti komitmen terhadap standar Israel-Amerika, Otoritas Palestina menutup pintu bagi Hamas dan kelompok-kelompok anti-Oslo untuk berpartisipasi dalam pemilihan legislatif dan Dewan Nasional Palestina.

Syarat utamanya: kesetiaan terhadap perjanjian yang sama yang telah kehilangan legitimasi di mata rakyat. Bahkan mereka berjanji akan melucuti senjata perlawanan jika diberi kewenangan di Gaza.

Ironisnya, para pemimpin Ramallah seolah tak sadar bahwa menghapus Hamas hanyalah tahap pertama dari menghapus mereka sendiri—seperti kisah “banteng putih” yang dibunuh setelah saudaranya dibiarkan mati.

Alih-alih memperjuangkan hak rakyat, mereka justru menjalankan tugas yang diinginkan Israel.

Yaitu, memburu kelompok perlawanan, mengawasi masyarakat Tepi Barat, menghentikan tunjangan bagi keluarga syuhada, hingga menyebar propaganda yang menyalahkan Hamas atas kejahatan Israel.

Dalam beberapa kasus, mereka bahkan diduga berkoordinasi dengan kelompok-kelompok bayaran di Gaza.

Semuanya itu pada akhirnya hanya menguntungkan Israel—mendekatkan cita-cita penghapusan total Palestina.

Dalam arti sesungguhnya, mereka bukan hanya menembak kaki sendiri, tetapi jantung sendiri.

Meski menghadapi gempuran besar, perlawanan Palestina tidak kalah. Dalam dua tahun pertempuran dan pengepungan, ribuan pejuang dan pemimpin gugur—termasuk keluarga mereka—di antara hampir 77 ribu korban jiwa di Jalur Gaza. Namun, Israel gagal mencapai tujuan militernya.

Hamas tetap menjadi kekuatan utama di Gaza, tetap memiliki basis besar di Tepi Barat dan di diaspora, serta tetap menjadi simbol perlawanan bagi umat Islam di seluruh dunia.

Karena itu, yang terpenting kini adalah mencegah Israel memetik kemenangan semu dan menggagalkan upaya untuk menghapus hasil perjuangan rakyat Palestina.

Dunia Arab, Islam, dan komunitas internasional harus berhati-hati agar tidak membantu penjajah mencapai lewat diplomasi apa yang gagal dicapai lewat perang.

Mereka harus sadar: menghapus perlawanan berarti menghapus Palestina. Dan setiap upaya yang dilakukan atas nama “perdamaian” tanpa keadilan sejatinya hanyalah cara baru untuk memberi hadiah kepada pelaku kejahatan, sambil menghukum korban yang telah berjuang untuk kebebasannya.

*Mohsen Muhammad Saleh adalah seorang penulis dan peneliti Palestina, dan Direktur Jenderal Pusat Studi dan Konsultasi Al-Zaytouna. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Syaṭhbu al-Muqāwammah au Syaṭhbu Falisṭhīn?”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler