Pasukan pemerintah Suriah berhasil merebut kembali sejumlah wilayah strategis di provinsi Suweida, selatan Suriah, dari kelompok bersenjata yang disebut sebagai ”gerombolan kriminal”.
Sementara itu, di bagian utara negara itu, militer Suriah menahan serangan dari Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didominasi milisi Kurdi.
Kantor berita Suriah, Al-Ikhbariyah, melaporkan pada Minggu (4/8/2025) bahwa pasukan keamanan berhasil mengambil alih kembali kawasan Tel al-Hadid, Rima Hazem, dan Wolgha setelah bentrokan bersenjata sengit.
Daerah-daerah ini sebelumnya sempat direbut oleh kelompok bersenjata yang beroperasi di pinggiran Suweida.
Dalam serangan yang berlangsung pada malam hari, kelompok bersenjata itu menyusup dari dalam Kota Suweida dan menguasai beberapa titik.
Termasuk desa Tel al-Hadid di barat kota. Lima personel pasukan keamanan tewas dalam peristiwa tersebut.
Serangan ini terjadi meskipun kesepakatan gencatan senjata telah diberlakukan sejak dua pekan terakhir, yakni sejak 19 Juli lalu.
Gencatan itu diberlakukan setelah sepekan bentrokan berdarah antara milisi bersenjata dari komunitas Druze dan kelompok bersenjata dari suku Arab yang menyebabkan ratusan korban jiwa.
Konflik internal tersebut mendorong intervensi dari pasukan pemerintah. Namun, kehadiran pasukan pemerintah juga mendapat serangan.
Tidak hanya dari kelompok bersenjata lokal, tetapi juga dari serangan udara Israel yang menyasar instalasi militer dan keamanan Suriah di kawasan itu.
Ketegangan di Manbij
Di wilayah timur laut, tepatnya di pinggiran kota Manbij, provinsi Aleppo, militer Suriah melaporkan berhasil menahan serangan dari Pasukan Demokratik Suriah.
Kementerian Pertahanan Suriah dalam pernyataannya menyebutkan bahwa unit-unit militer membalas serangan dengan tembakan presisi ke sumber serangan milisi Kurdi itu.
Akibat serangan tersebut, empat tentara dan tiga warga sipil terluka akibat tembakan roket yang diluncurkan SDF ke arah desa al-Kiyariyah.
Kementerian Pertahanan Suriah mengecam serangan tersebut sebagai tindakan tidak bertanggung jawab dan mengaku tidak mengetahui alasan di balik tindakan SDF.
Sementara itu, pihak SDF menyatakan bahwa mereka hanya menjalankan hak pembelaan diri terhadap apa yang mereka sebut sebagai serangan terhadap wilayah Deir Hafer di pedesaan Aleppo.
Pusat Media SDF membantah tuduhan bahwa mereka melakukan serangan ke pos militer Suriah dan menyerukan agar semua pihak menghormati gencatan senjata.
SDF juga meminta pemerintah Suriah mengendalikan kelompok-kelompok bersenjata yang tidak tunduk pada otoritas pusat.
Padahal, pada 10 Maret lalu, sempat ditandatangani kesepakatan antara Presiden Suriah Ahmad al-Sharaa dan Komandan SDF, Mazloum Abdi.
Kesepakatan itu untuk mengintegrasikan lembaga-lembaga sipil dan militer di wilayah-wilayah yang dikuasai SDF ke dalam struktur negara Suriah, termasuk kendali atas perbatasan, bandara, dan ladang minyak.
Namun, hingga kini, implementasi perjanjian tersebut belum terealisasi di lapangan.
Serangan ISIS
Di tempat lain, SDF juga melaporkan kehilangan lima anggotanya dalam serangan kelompok Islamic State (ISIS) di sebuah pos pemeriksaan di provinsi Deir ez-Zor, Suriah timur, pada 31 Juli lalu.
Kelompok ISIS, yang pernah menguasai sebagian besar wilayah Suriah dan Irak pada tahun 2014, telah terdesak secara militer sejak 2019.
Namun, sisa-sisa sel mereka masih aktif dan kerap melancarkan serangan gerilya di wilayah-wilayah gurun dan pedesaan.
SDF selama ini mendapat dukungan militer dan logistik dari Amerika Serikat (AS) dalam perang melawan ISIS.
Dukungan tersebut menjadikan SDF sebagai mitra utama koalisi internasional pimpinan AS dalam operasi melawan ekstremisme di kawasan.
Namun, relasi mereka dengan Damaskus tetap tegang, terutama terkait isu otonomi dan distribusi kekuasaan di wilayah timur laut Suriah.