Tuesday, October 28, 2025
HomeBeritaPerang Gaza tak akan usai tanpa keadilan

Perang Gaza tak akan usai tanpa keadilan

Dalam artikelnya di The Guardian, penulis urusan luar negeri Simon Tisdall menegaskan bahwa perang di Gaza tak akan pernah benar-benar berakhir sebelum kebenaran terungkap dan keadilan ditegakkan.

“Genosida adalah kejahatan yang tidak boleh dibiarkan tanpa pertanggungjawaban,” tulisnya tegas.

Penegasan Tisdall datang di tengah berlanjutnya serangan Israel ke Jalur Gaza, yang terus memakan korban jiwa dan luka-luka meski gencatan senjata telah diumumkan sejak 10 Oktober.

Ia menyebut bahwa perang ini, meski secara formal disebut “usai”, pada kenyataannya masih berlangsung dalam bentuk penghancuran yang sistematis terhadap rakyat Gaza.

Tisdall menilai bahwa bahkan jika “rencana perdamaian” Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berhasil sekalipun.

Dokumen itu, lanjutnya, tak menyediakan jalur apa pun menuju penyelidikan publik resmi atas kejahatan yang dilakukan selama perang.

Lebih jauh, ia menuding para pemimpin Eropa, Arab, dan Inggris yang memilih bungkam bukan karena ketidaktahuan, melainkan karena “keinginan menutup halaman keterlibatan mereka yang memalukan” selama dua tahun perang.

Dengan diam, kata Tisdall, mereka berusaha menghapus jejak keterlibatan politik dan moral mereka dalam tragedi Gaza.

Seruan untuk keadilan internasional

Tisdall menegaskan bahwa semua pelaku kejahatan perang harus diadili.

Ia menyerukan agar dua “buronan keadilan” — Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanannya Yoav Gallant — menyerahkan diri ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

ICC telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap keduanya atas tuduhan melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Tak lama setelah kesepakatan gencatan senjata ditandatangani, Israel disebut berupaya membatalkan surat perintah tersebut sekaligus menghentikan penyelidikan terhadap dugaan keterlibatan Netanyahu dan Gallant dalam kejahatan genosida di Gaza.

Upaya itu, tulis Tisdall, menunjukkan bagaimana Tel Aviv mencoba memanfaatkan jeda pertempuran untuk lolos dari pertanggungjawaban atas pembantaian yang telah dilakukan.

Namun, bahkan tanpa proses hukum formal, “pengadilan opini publik internasional” sudah menjatuhkan vonisnya.

Tentara Israel secara sadar dan sistematis melanggar hukum humaniter internasional dan rutin melakukan kejahatan perang, termasuk menargetkan warga sipil, jurnalis, dan tenaga medis.

Kejahatan-kejahatan ini, lanjut Tisdall, telah merusak citra Israel secara mendalam di mata dunia.

Data dari European Palestinian Media Center (EPAL) mencatat lebih dari 45 ribu demonstrasi dan aksi solidaritas di 800 kota di 25 negara Eropa — menunjukkan perubahan drastis dalam opini publik Eropa.

Mayoritas peserta aksi tersebut adalah warga Eropa sendiri, disusul oleh komunitas Arab dan Muslim di benua itu.

Menurut Tisdall, pengalaman sejarah di Rwanda dan Afrika Selatan membuktikan bahwa keadilan transisional merupakan satu-satunya jalan menuju perdamaian sejati.

“Hanya penyelidikan independent yang dapat membebaskan mereka yang dituduh secara keliru, atau menghukum mereka yang benar-benar bersalah,” tulisnya.

Ia menutup tulisannya dengan peringatan keras: membiarkan impunitas hanya akan menyalakan kembali siklus kekerasan yang sama.

“Pilihannya jelas. Kebenaran dan keadilan — atau kembali ke perang,” tulis Tisdall.

Selama dua tahun genosida Israel di Jalur Gaza, lebih dari 67.967 warga Palestina tewas dan 170.179 luka-luka, sebagian besar di antaranya perempuan dan anak-anak. Kelaparan yang disengaja juga merenggut 463 nyawa, termasuk 157 anak kecil.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler