Sebuah perusahaan daur ulang logam di Israel dinyatakan bangkrut setelah Pemerintah Turki menghentikan seluruh kegiatan perdagangan dengan Israel sebagai respons atas perang yang terus berlangsung di Jalur Gaza.
Harian ekonomi Israel Calcalist melaporkan, perusahaan Shaul Gueta Company yang berbasis di Ashdod dan bergerak di bidang pengumpulan, pemilahan, penghancuran, serta penjualan logam bekas ke pasar luar negeri, sangat bergantung pada ekspor ke Turki. Sekitar 70 persen penjualannya berasal dari negara tersebut.
Pendapatan perusahaan ini anjlok tajam dari 200 juta shekel atau sekitar 61 juta dolar AS pada 2022 menjadi hanya 35 juta shekel (sekitar 11 juta dolar AS) pada paruh pertama tahun ini. Akibatnya, total utang perusahaan menumpuk hingga 105 juta shekel atau sekitar 32 juta dolar AS.
Kreditur terbesar, Israel International Bank, mengajukan tagihan sebesar 18 juta shekel ke pengadilan. Sementara itu, sejumlah bank lain—termasuk Bank Hapoalim (15 juta shekel), Mercantile Bank (11 juta shekel), dan Mizrahi-Tefahot Bank (1,5 juta shekel)—serta beberapa lembaga kredit nonbank seperti Max, S.R. Accord, dan Ampla, juga tercatat memiliki piutang bernilai jutaan shekel.
Pengadilan Distrik Beersheba menerima permohonan pailit yang diajukan Israel International Bank dan menunjuk pengacara Doron Tishman sebagai wali amanat untuk menentukan apakah perusahaan akan dilikuidasi atau direstrukturisasi.
Perwakilan Shaul Gueta menyatakan di hadapan pengadilan bahwa penurunan pendapatan terutama disebabkan oleh serangan Israel ke Gaza dan embargo perdagangan total yang diberlakukan Turki. “Sebagian besar pendapatan perusahaan bergantung pada ekspor ke Turki,” ujar mereka.
Turki mulai mengurangi aktivitas perdagangannya dengan Israel sekitar 30 persen pada awal serangan ke Gaza, dan pada 2 Mei 2024, Ankara menghentikan seluruh kegiatan impor, ekspor, dan transit barang dengan Israel di semua sektor. Kebijakan ini menandai berakhirnya hubungan dagang antara kedua negara.
Shaul Gueta menjalankan sebagian besar operasinya dari fasilitas utama di kawasan industri Ashdod, yang berdiri di atas lahan sekitar 11 dunam (2,7 hektar). Namun, penghentian hubungan dagang dengan Turki membuat kegiatan usahanya terhenti total dan akhirnya menyeret perusahaan tersebut ke jurang kebangkrutan.

