Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, melancarkan kritik tajam terhadap Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga-lembaga multilateral lainnya, yang dinilainya gagal mencegah genosida Israel terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza.
Menurut Lula, badan-badan internasional yang seharusnya menjaga perdamaian dunia kini tidak lagi menjalankan fungsinya.
“Siapa yang bisa menerima genosida yang telah berlangsung begitu lama di Gaza?” ujar Lula kepada wartawan di Putrajaya, Malaysia, Sabtu (25/10), usai bertemu Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim.
Pertemuan itu berlangsung menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN, di mana Lula dijadwalkan bertemu dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Lula menegaskan bahwa lembaga-lembaga multilateral yang dibentuk untuk mencegah tragedi semacam itu kini “tidak lagi bekerja sebagaimana mestinya”.
Ia menyebut Dewan Keamanan dan PBB “tidak lagi menjalankan peran yang seharusnya”.
Selama dua tahun terakhir, Israel telah melancarkan apa yang disebut banyak pengamat sebagai perang pemusnahan terhadap rakyat Palestina di Gaza.
Menurut data resmi Palestina, agresi itu menewaskan lebih dari 68.000 orang, melukai 170.000 lainnya, dan menghancurkan sekitar 90 persen infrastruktur dan fasilitas publik akibat lebih dari 200.000 ton bahan peledak yang dijatuhkan.
Serangan itu baru berhenti setelah tercapai kesepakatan gencatan senjata di Sharm el-Sheikh, Mesir, pada 9 Oktober lalu, dengan mediasi Qatar, Mesir, dan Turki, serta partisipasi Amerika Serikat.
Sindiran terhadap Trump
Dalam kesempatan yang sama, Lula juga melontarkan komentar yang dinilai sebagai sindiran halus kepada Presiden Trump.
“Berjalan dengan kepala tegak jauh lebih penting daripada meraih Hadiah Nobel,” ujarnya.
Pernyataan itu muncul setelah Gedung Putih mengecam keputusan Komite Nobel Norwegia yang memberikan Hadiah Nobel Perdamaian kepada tokoh oposisi Venezuela, María Corina Machado, alih-alih kepada Trump.
Trump sendiri dijadwalkan menghadiri penandatanganan perjanjian damai antara Thailand dan Kamboja di Bangkok, Minggu (26/10), sebelum melanjutkan perjalanan ke Korea Selatan untuk bertemu Presiden Tiongkok Xi Jinping di akhir tur Asia-nya.
Komentar Lula datang di tengah mencairnya hubungan antara Washington dan Brasilia setelah periode tegang selama pemerintahan Presiden sayap kanan Jair Bolsonaro, sekutu dekat Trump.
Bolsonaro dijatuhi hukuman 27 tahun penjara pada September lalu karena terbukti terlibat dalam upaya kudeta gagal pada 2022.
Sebelumnya, pemerintahan Trump menjatuhkan tarif 50 persen terhadap produk Brasil serta sanksi terhadap sejumlah pejabat tinggi, termasuk seorang hakim Mahkamah Agung, dengan alasan “persekusi politik terhadap Bolsonaro.”
Namun, suasana mulai mencair setelah pertemuan singkat antara Trump dan Lula di sela Sidang Umum PBB pada September lalu, disusul pembicaraan telepon pada 6 Oktober. Kedua pertemuan itu membuka jalan bagi kemungkinan pertemuan bilateral resmi dalam KTT ASEAN mendatang.
Lula menutup pernyataannya dengan seruan agar masyarakat internasional “tidak menutup mata terhadap penderitaan rakyat Palestina”.
Selain itu juga menyerukan reformasi menyeluruh terhadap PBB agar “kembali menjadi lembaga yang mampu mencegah kekejaman semacam ini di masa depan.”

