Anas al-Sharif, salah satu jurnalis paling menonjol di Gaza, tewas dalam serangan langsung Israel terhadap tenda yang menjadi tempat berlindung wartawan Palestina, Ahad (10/8).
Al Jazeera, tempatnya bekerja, menyatakan bahwa Sharif bersama Mohammed Qreiqeh dan tiga rekannya dibunuh secara sengaja ketika pasukan Israel menarget tenda mereka di luar Rumah Sakit Al-Shifa, Kota Gaza.
Saat itu, Sharif bertugas di gerbang utama rumah sakit bersama juru kamera dan fotografer Ibrahim Zaher, Mohammed Noufal, dan Moamen Aliwa. Jurnalis lepas Mohammed al-Khalidi juga menjadi korban jiwa.
Sharif dikenal luas karena perannya menyuarakan penderitaan rakyat Palestina di tengah gempuran dan blokade Israel atas Jalur Gaza.
Jurnalis berusia 28 tahun ini dianugerahi Amnesty International Australia’s Human Rights Defender Award atas ketangguhan, dedikasi pada kebebasan pers, serta liputan yang dinilai “berani dan luar biasa.”
Laporan langsung terakhirnya, disiarkan pada hari kematiannya, membahas krisis kelaparan yang melanda dua juta penduduk Gaza—hampir separuh korban meninggal akibat malnutrisi adalah anak-anak.
Meski memiliki jangkauan dan reputasi yang luas, bahkan di kalangan audiens Barat, Sharif berasal dari keluarga sederhana di kamp pengungsian Jabalia, Gaza Utara.
Lulusan Universitas Al-Aqsa ini bergabung dengan Al Jazeera pada awal perang, menggantikan rekan-rekan yang terluka atau gugur, seperti mendiang Ismail al-Ghoul dan jurnalis senior Wael Dahdouh yang kini terluka.
Seperti jurnalis Gaza lainnya, Sharif bekerja di tengah kelaparan dan ancaman kematian akibat serangan udara.
Menurut Kantor Media Pemerintah Gaza, sejak perang dimulai Israel telah membunuh 238 jurnalis Palestina di wilayah itu.
Ancaman yang terus mengintai
Sepanjang perang, Anas al-Sharif hidup dalam bayang-bayang ancaman. Israel berulang kali menuduhnya sebagai “teroris” — tuduhan yang tidak pernah dibuktikan — dan menempatkannya sebagai target.
Menurut Committee to Protect Journalists (CPJ) yang berbasis di New York, juru bicara militer Israel berbahasa Arab, Avichay Adraee, bahkan meningkatkan serangan daring terhadap Sharif beberapa hari sebelum ia terbunuh.
Pada 24 Juli, CPJ mengeluarkan seruan terakhir untuk melindungi Sharif dari kampanye fitnah Israel.
“Kami sangat prihatin dengan ancaman berulang yang dilontarkan oleh juru bicara militer Israel Avichay Adraee terhadap koresponden Al Jazeera di Gaza, Anas al-Sharif, dan menyerukan komunitas internasional untuk melindunginya,” kata Direktur Regional CPJ, Sara Qudah.
Ia menegaskan bahwa ancaman terhadap Sharif bukan pertama kali terjadi, namun kali ini risiko terhadap nyawanya sangat besar.
“Israel telah membunuh sedikitnya enam jurnalis Al Jazeera di Gaza selama perang ini. Tuduhan tanpa dasar ini adalah upaya membangun pembenaran untuk membunuh al-Sharif,” ujarnya.
Kepada CPJ, Sharif menjelaskan bahwa kemarahan Israel terhadap dirinya dipicu liputannya yang “merugikan mereka dan merusak citra mereka di dunia.”
Ia sadar, setiap waktu nyawanya bisa melayang.
“Mereka menuduh saya teroris karena ingin membunuh saya secara moral. Saya hidup dengan perasaan bahwa saya bisa dibom dan gugur kapan saja. Keluarga saya juga dalam bahaya, dan saya sudah pernah membayar harga sebelumnya,” katanya.
Walau mengakui ancaman itu menimbulkan rasa “sulit dan menyakitkan”, Sharif justru merasa lebih terdorong untuk melanjutkan tugasnya.
“Ancaman ini adalah hasutan terang-terangan dan upaya membunuh suara saya, baik melalui bom maupun pembunuhan karakter. Namun saya tidak akan berhenti menyampaikan kebenaran, sekalipun harus mengorbankan nyawa,” katanya.
Sejak perang di Gaza meletus Oktober 2023, Israel telah membunuh lebih dari 61.000 warga Palestina.
Sharif sendiri merasakan kehilangan besar ketika ayahnya yang berusia 90 tahun tewas akibat serangan udara Israel di rumah keluarganya pada Desember 2023, hanya 2 bulan setelah ia mulai meliput perang.
Ia juga menyaksikan kematian sejumlah rekan jurnalis dan mengalami langsung kelaparan yang melanda Gaza.
Meski pernah mengaku lelah di depan kamera, ia tetap melanjutkan laporan. Dalam salah satu rekaman, Sharif tampak terisak ketika melihat seorang perempuan ambruk di jalan karena kelaparan, sebelum kembali menguatkan diri untuk menuntaskan siaran, didorong suara-suara penyemangat di sekitarnya.
Bulan-bulan terakhir hidupnya, ia tidak dapat bertemu keluarganya yang mengungsi, karena khawatir mereka akan menjadi target jika berada di dekatnya.
Sharif telah menyiapkan pesan terakhir untuk dibacakan jika ia gugur. Pesan itu adalah amanat agar dunia tidak melupakan Gaza.
“Jangan biarkan rantai membungkam kalian, atau batas wilayah menahan kalian. Jadilah jembatan menuju pembebasan tanah dan rakyat, hingga matahari martabat dan kebebasan terbit di tanah air kita yang dirampas. Jangan lupakan Gaza dan jangan lupakan saya dalam doa tulus kalian,” pesannya.
Anas al-Sharif meninggalkan istri, Bayan, dan 2 anak, Sham dan Salah — serta warisan keberanian dan kebenaran yang coba dibungkam oleh peluru.