Puluhan ribu pria Yahudi ultra-Ortodoks turun ke jalan di Yerusalem, Kamis (tanggal tidak disebutkan), untuk memprotes kebijakan wajib militer di kalangan mereka. Isu tersebut telah menimbulkan ketegangan serius dalam koalisi pemerintahan sayap kanan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Massa menuntut pemerintah mengesahkan undang-undang yang menjamin hak mereka untuk tetap dibebaskan dari kewajiban dinas militer, sebagaimana telah dijanjikan Netanyahu sejak lama.
Menurut laporan kantor berita AFP, ribuan demonstran memenuhi jalan-jalan utama ibu kota, membakar terpal, dan memadati atap bangunan, jembatan, hingga balkon rumah. Ratusan polisi dikerahkan untuk menutup akses jalan dan mengamankan area sekitar.
Di tengah kerumunan, sejumlah peserta aksi membentangkan spanduk bertuliskan, “Lebih baik penjara daripada tentara.” Sebuah helikopter tampak berputar di atas lokasi saat ribuan orang melakukan doa bersama.
Seorang peserta berusia 27 tahun, yang hanya menyebut namanya Abraham, mengatakan bahwa tujuan aksi adalah mempertahankan gaya hidup berdasarkan ajaran Taurat. “Kami menolak wajib militer bukan karena egois, tetapi karena kami ingin menjaga apa yang diajarkan Taurat dan para rabbi,” ujarnya.
Polisi Israel menyebutkan seorang pria tewas setelah terjatuh dari ketinggian saat unjuk rasa berlangsung.
Protes besar ini terjadi di tengah pengetatan aturan terhadap warga ultra-Ortodoks yang menolak panggilan wajib militer. Ribuan surat panggilan dilaporkan diabaikan, dan sejumlah penolak wajib militer telah dipenjara.
Sejak berdirinya negara Israel pada 1948, kelompok pria ultra-Ortodoks yang mengabdikan diri untuk mempelajari kitab suci Yahudi diberikan pengecualian de facto dari wajib militer. Namun, kebijakan ini semakin dipertanyakan sejak pecahnya perang di Gaza, ketika militer Israel menghadapi kekurangan personel.
Pada Juni 2024, Mahkamah Agung Israel memutuskan bahwa pemerintah wajib merekrut pria ultra-Ortodoks, menyatakan bahwa pengecualian tersebut telah kedaluwarsa. Komite parlemen kini tengah membahas rancangan undang-undang yang akan mengakhiri pengecualian itu dan mendorong pemuda ultra-Ortodoks yang tidak belajar penuh waktu untuk ikut wajib militer.
“Pemerintah, Mahkamah Agung, dan jaksa agung telah berbalik melawan kami dan ingin memenjarakan kami, tapi itu tidak akan terjadi,” kata Rabbi Avraham Bismut dari Beit Shemesh kepada AFP.
Ancaman Retaknya Koalisi Netanyahu
Perdebatan mengenai wajib militer telah lama menjadi isu sensitif di masyarakat Israel. Netanyahu berulang kali berjanji untuk meloloskan undang-undang yang mempermanenkan pengecualian tersebut, namun hingga kini belum terwujud.
“Kami merasa seolah-olah ada keputusan dari langit yang menjatuhkan penganiayaan berat terhadap dunia Taurat dan para pelajarnya,” ujar seorang peserta aksi bernama Arik.
Aksi besar di Yerusalem itu diorganisasi oleh dua partai ultra-Ortodoks, salah satunya merupakan mitra utama dalam koalisi pemerintahan Netanyahu. Ribuan peserta datang dari berbagai wilayah Israel untuk bergabung. Polisi mengerahkan sekitar 2.000 personel untuk mengamankan jalannya aksi dan kemudian membubarkan massa pada malam hari.
Anggota parlemen oposisi, Avigdor Liberman, mengecam demonstrasi tersebut. Dalam unggahan di media sosial X, ia menyebut aksi itu sebagai “tamparan terhadap wajah para prajurit pemberani kita.”
Isu wajib militer ini menempatkan koalisi Netanyahu—yang disebut sebagai salah satu pemerintahan paling sayap kanan dalam sejarah Israel—dalam posisi genting.
Pada Juli lalu, sejumlah menteri dari Partai Shas yang berhaluan ultra-Ortodoks mundur dari kabinet sebagai bentuk protes, meski partai tersebut belum secara resmi keluar dari koalisi. Sementara itu, Partai United Torah Judaism sudah lebih dulu menarik diri dari pemerintahan.
Partai Shas, yang memiliki 11 kursi di Knesset (parlemen Israel), telah memperingatkan bahwa jika pengecualian militer tidak dijamin dalam undang-undang, mereka akan menarik dukungan—langkah yang berpotensi mengguncang koalisi Netanyahu yang kini hanya memiliki 60 kursi.
Sebagian rabbi ultra-Ortodoks khawatir wajib militer akan melemahkan religiusitas generasi muda, sementara sebagian lain menilai mereka yang tidak belajar kitab suci penuh waktu dapat ikut dinas militer.
Warga ultra-Ortodoks kini mencakup sekitar 14 persen populasi Yahudi Israel, atau sekitar 1,3 juta orang. Sekitar 66.000 pria usia militer masih menikmati pengecualian tersebut.
Menurut laporan militer yang disampaikan ke parlemen pada September lalu, jumlah warga ultra-Ortodoks yang bergabung dengan militer memang meningkat tajam dalam dua tahun terakhir, namun tetap kecil—hanya beberapa ratus orang sejauh ini.


 
                                    