Wednesday, November 5, 2025
HomeBeritaTragedi Al-Fashir: 460 pasien hilang dalam pembantaian RSF di rumah sakit

Tragedi Al-Fashir: 460 pasien hilang dalam pembantaian RSF di rumah sakit

Di salah satu sudut kamp pengungsian di kota Tawilah, sekitar 68 kilometer di barat al-Fashir, ibu kota Darfur Utara, seorang perempuan bernama Fatimah Abdullah duduk di atas sehelai kain lusuh.

Ia mengenakan kain tipis berdebu dan menatap tanah dalam diam yang panjang dan berat.

Fatimah tidak membawa apa pun saat melarikan diri dari rumahnya di al-Fashir—hanya pakaian yang melekat di tubuhnya.

Sejak itu, ia masih menunggu kabar tentang putranya, Ali, yang sempat dibawa ke Rumah Sakit Saudi sebelum kota itu jatuh. Sejak hari itu, tak ada yang tahu di mana dia.

“Dia terluka di kaki. Mereka bilang keadaannya stabil. Lalu kami dengar rumah sakit itu dibom, dan orang-orang di dalamnya dibunuh. Kami tak tahu apakah dia masih hidup atau sudah dimakamkan bersama yang lain,” tutur Fatimah dengan suara bergetar kepada Al Jazeera Net.

Rumah sakit yang berubah jadi ladang maut

Rumah Sakit Saudi merupakan tempat perlindungan terakhir bagi warga sipil setelah sebagian besar fasilitas kesehatan di al-Fashir runtuh.

Namun pada akhir Oktober lalu, tempat itu berubah menjadi arena pembantaian, menurut kesaksian para dokter dan laporan organisasi hak asasi manusia.

Dalam pernyataannya, Jaringan Dokter Sudan menegaskan bahwa Pasukan Dukungan Cepat (RSF) menyerbu Rumah Sakit Saudi.

Mereka juga membunuh dengan darah dingin setiap orang yang mereka temui—pasien, keluarga pasien, bahkan anak-anak dan perempuan—tanpa mengindahkan hukum kemanusiaan maupun moral apa pun.

460 pasien hilang

Kementerian Kesehatan Sudan menyebut peristiwa itu sebagai “kejahatan genosida”, dengan memperkirakan sekitar 460 pasien berada di dalam rumah sakit saat serangan terjadi. Sejak itu, tak satu pun dari mereka ditemukan.

Seorang mantan perawat rumah sakit berinisial S.M.A., yang berhasil melarikan diri ke Tawilah 2 hari sebelum serangan, menceritakan bahwa rumah sakit itu sempat menjadi sasaran pengeboman berulang sebelum akhirnya dikuasai pasukan RSF.

“Saya dengar dari rekan-rekan yang selamat bahwa mereka menembaki semua orang di dalam ruangan. Tak seorang pun diizinkan keluar. Tak satu jasad pun diserahkan kepada keluarga,” ujarnya.

Di kamp-kamp pengungsian, puluhan keluarga kini hidup dalam ketidakpastian. Mereka kehilangan orang-orang terkasih yang sedang dirawat di rumah sakit itu.

Tidak ada jenazah, tidak ada makam, tidak ada surat kematian—hanya hening, derita, dan penantian panjang.

Pemakaman yang misterius

Aisyah Muhammad, janda dengan dua anak kecil, turut menanggung luka yang sama.

“Suami saya mengalami pendarahan dalam karena terkena pecahan peluru. Kami membawanya ke Rumah Sakit Saudi seminggu sebelum al-Fashir jatuh, lalu dia hilang. Kami tak tahu apakah dia meninggal, dibawa ke tempat lain, atau dikubur tanpa sepengetahuan kami,” katanya.

Dengan suara pelan ia menambahkan bahwa ia hanya ingin mengetahui di mana jasad suaminya.

“Saya tak meminta apa-apa, hanya ingin memakamkannya dengan tangan saya sendiri,” terangnya.

Putusnya komunikasi sepenuhnya dengan kota al-Fashir membuat berbagai versi tentang apa yang terjadi beredar.

Sebagian pengungsi menyebut adanya penguburan massal di sekitar kompleks rumah sakit, sementara sumber medis lain menyatakan bahwa jasad-jasad korban diangkut dengan kendaraan militer ke lokasi yang tak diketahui.

Seruan untuk penyelidikan

Menurut Abdullah Ismail, seorang aktivis kemanusiaan yang baru tiba di Tawilah, apa yang terjadi di Rumah Sakit Saudi “melampaui batas pelanggaran perang biasa” dan memerlukan penyelidikan internasional segera.

“Kami memiliki kesaksian dari para pendamping pasien yang sempat melarikan diri beberapa jam sebelum serangan. Mereka menegaskan para pasien masih hidup, sebagian sedang menunggu operasi. Lalu semuanya lenyap—tidak ada satu jenazah pun ditemukan,” ujarnya kepada Al Jazeera Net.

Ia menambahkan bahwa hal itu bukan sekadar pembunuhan massal, namun penghapusan bukti secara sengaja.

“Tidak ada catatan, tidak ada makam, tidak ada foto. Seolah-olah mereka tidak pernah ada,” tegasnya.

Ismail menutup dengan nada getir bahwa hal tersebut merupakan kejahatan yang sudah terdokumentasi, tapi dunia memilih untuk tidak melihat.

“Kami butuh tim penyelidik internasional untuk menyingkap nasib para korban,” jelasnya.

Dunia yang diam

Meski beratnya kejahatan itu, hingga kini belum ada sikap tegas dari masyarakat internasional.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) hanya menyatakan “keprihatinan mendalam” atas laporan-laporan tersebut tanpa menyebut pihak yang bertanggung jawab secara langsung.

Dalam pernyataannya pada 29 Oktober lalu, WHO mengecam keras laporan tentang pembunuhan lebih dari 460 pasien dan pendamping di Rumah Sakit Bersalin Saudi di al-Fashir, serta penculikan enam tenaga kesehatan—4 dokter, 1 perawat, dan 1 apoteker.

WHO menyebut rumah sakit itu sebagai satu-satunya fasilitas medis yang masih berfungsi sebagian di kota yang terkepung tersebut.

Fasilitas itu telah menjadi sasaran empat serangan dalam sebulan, dan serangan terakhir pada 28 Oktober memicu pembantaian besar.

Organisasi itu juga memperingatkan bahwa sistem kesehatan di al-Fashir telah runtuh sepenuhnya.

Hal itu diakibatkan oleh kekerasan, pengepungan, dan kelaparan, sementara nasib para pegawai dari tiga lembaga kemanusiaan yang bekerja di sana masih tidak diketahui.

WHO mendesak agar fasilitas kesehatan dihormati sebagaimana dijamin dalam hukum humaniter internasional.

WHO juga menegaskan bahwa pelanggaran terhadapnya adalah tindakan yang mencoreng nilai-nilai kemanusiaan paling dasar.

Penyangkalan dan seruan keadilan

Namun, dalam wawancara dengan Al Jazeera Mubasher, Alaa al-Din Naqdallah, juru bicara Tasis Alliance (Koalisi Sudan Pendirian), membantah seluruh tuduhan.

Ia menyatakan bahwa tidak ada kejahatan yang terjadi di dalam Rumah Sakit Saudi, dan bahwa bangunan itu telah digunakan sebagai pos militer sementara oleh pasukan gabungan, bukan lagi sebagai fasilitas medis.

Ia juga menyebut video-video yang beredar di media sosial—yang diklaim memperlihatkan eksekusi di rumah sakit—sebagai hasil rekayasa menggunakan kecerdasan buatan (AI), dan menyerukan agar semua pihak “memverifikasi sumber sebelum mempercayai materi tersebut”.

Sebaliknya, aktivis HAM Hala Abdul Karim menilai pembantaian itu bukan peristiwa terpisah.

“Yang terjadi di al-Fashir adalah bagian dari pola yang sistematis. Membunuh pasien di fasilitas medis yang dilindungi hukum internasional adalah pelanggaran terang-terangan terhadap Konvensi Jenewa,” ujarnya.

Ia menyerukan pembentukan komisi penyelidikan internasional dan pengadilan bagi para pelaku kejahatan perang.

Di kamp Tawilah, Fatimah Abdullah masih menunggu. Ia tak memiliki telepon, tak punya foto anaknya, hanya kenangan yang mulai memudar dan hati yang digerogoti harapan kecil: semoga suatu hari ia tahu apa yang terjadi pada Ali.

“Kalau dia sudah mati, saya hanya ingin tahu di mana dia dikubur. Kalau dia masih hidup, saya ingin melihatnya. Saya tidak ingin mati tanpa tahu nasib anak saya,” katanya lirih sambil menyeka air mata dengan ujung kainnya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler