Wednesday, November 5, 2025
HomeBeritaWashington dorong gencatan senjata 3 bulan di Sudan

Washington dorong gencatan senjata 3 bulan di Sudan

Perdebatan politik kembali menghangat di Sudan menyusul munculnya usulan dari Amerika Serikat (AS) kepada militer Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) untuk memberlakukan gencatan senjata kemanusiaan selama 3 bulan.

Usulan itu menimbulkan perbedaan pandangan di antara berbagai pihak yang terlibat dalam konflik.

Sementara Washington menyatakan optimisme hati-hati bahwa kedua belah pihak akan menyetujuinya.

Selama sepekan terakhir, dua delegasi—masing-masing mewakili pemerintah Sudan dan RSF—berada di Washington.

Keduanya menerima rancangan usulan dari pemerintah AS yang berisi rencana gencatan senjata selama tiga bulan.

Dalam periode itu, jalur-jalur kemanusiaan akan dibuka untuk menyalurkan bantuan kepada warga yang terdampak perang berkepanjangan sejak pertengahan April 2023.

Masad Boulos, penasihat senior Presiden Donald Trump untuk urusan Arab dan Afrika, mengatakan bahwa Washington sedang berupaya mewujudkan kesepakatan gencatan senjata kemanusiaan di Sudan selama tiga bulan, dengan kemungkinan perpanjangan.

Ia menyebut pembicaraan dengan kedua pihak menunjukkan “kemajuan berarti”, meski situasi lapangan tetap kompleks.

Dalam pertemuan dengan sejumlah jurnalis Sudan dan Mesir di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Kairo, Senin (4/11), Boulos menuturkan bahwa kedua pihak menunjukkan respons awal yang positif.

Menurut dia, saat ini upaya diplomasi difokuskan pada penyelesaian rincian teknis kesepakatan itu sebagai bagian dari rencana sembilan bulan yang digagas oleh kelompok kuartet—AS, Arab Saudi, Mesir, dan Uni Emirat Arab.

Menjawab pertanyaan tentang kekhawatiran terulangnya “skenario Libya” di Sudan, Boulos menegaskan bahwa Amerika menolak gagasan pembentukan pemerintahan ganda.

“Kami menolak sepenuhnya model pemerintahan paralel. Kami mendukung kesatuan Sudan,” ujarnya.

Ia mengaku khawatir akan munculnya pola yang mirip dengan Libya setelah RSF menguasai sebagian besar wilayah Darfur.

Namun, ia menegaskan bahwa solusi politik adalah satu-satunya jalan menuju stabilitas Sudan.

Pemerintah kaji usulan Washington

Sumber resmi Sudan yang dikutip Al Jazeera Net menyebutkan bahwa pemerintah telah menerima usulan tertulis Amerika, yang merinci isi rencana perdamaian kelompok kuartet yang disampaikan pada 12 September lalu.

Menurut sumber tersebut, Dewan Keamanan dan Pertahanan yang diketuai Kepala Dewan Kedaulatan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan kemungkinan akan menggelar rapat darurat dalam 24 jam.

Rapat tersebut akan membahas usulan itu dan menyiapkan tanggapan resmi pemerintah.

Masih menurut sumber itu, ide tentang gencatan senjata kemanusiaan sebenarnya sudah muncul sebelumnya.

Khususnya untuk menyelamatkan penduduk kota al-Fashir di Darfur Utara yang saat itu dikepung dan menghadapi kelaparan parah sebelum akhirnya jatuh ke tangan RSF.

Usulan Washington kali ini, lanjut sumber yang sama, merupakan bagian dari paket yang lebih luas menuju penghentian perang secara permanen dan pembicaraan tentang pengaturan keamanan dan militer.

Pemerintah Sudan disebut telah menyampaikan rencananya sendiri kepada Sekretaris Jenderal PBB sejak Maret lalu, yang didasarkan pada “Deklarasi Jeddah”.

Dokumen kesepakatan yang pernah ditandatangani militer Sudan dan RSF pada Mei 2023.

Menteri Informasi Sudan, Khalid al-Ayser, menegaskan dalam wawancaranya dengan Al Jazeera Mubasher pada Sabtu lalu bahwa pemerintah tidak mempercayai RSF, terutama dalam hal komitmen pada kesepakatan.

Ia menuding RSF memanfaatkan gencatan senjata dalam “Perjanjian Jeddah” untuk memperkuat posisi militernya dan melanjutkan serangan terhadap warga sipil.

“Rakyat Sudan tidak akan menerima keberadaan milisi RSF dalam masa depan negara ini. Mereka telah melakukan pembantaian dan menumpahkan darah sesama warga Sudan di al-Fashir,” katanya.

Sikap berbeda di kalangan politik

Menteri al-Ayser juga menegaskan bahwa pemerintah menolak setiap kesepakatan damai yang tidak memperhatikan kepentingan negara dan tuntutan rakyat Sudan.

“Setiap solusi harus menjamin kedaulatan negara dan keutuhan institusinya,” ujarnya.

Meski demikian, pemerintah disebut terbuka terhadap semua opsi yang dapat membawa perdamaian, termasuk negosiasi, selama itu dilakukan berdasarkan peta jalan yang menuntut pelucutan senjata RSF.

Sebaliknya, Koalisi Sudan al-Tasisy—yang dipimpin oleh komandan RSF, Mohamed Hamdan Dagalo (Hamidti)—menyatakan menyambut baik penghentian perang secara menyeluruh tanpa prasyarat, sejalan dengan rekomendasi kelompok kuartet.

Dalam pernyataannya, koalisi itu menekankan pentingnya membuka koridor kemanusiaan sesegera mungkin dan melakukan penyelidikan independen serta transparan atas berbagai pelanggaran dan kejahatan yang terjadi, “tanpa intervensi politik atau manipulasi media.”

Sementara itu, Koalisi Sipil-Demokratis Kekuatan Revolusi (Sumud) yang dipimpin mantan Perdana Menteri Abdalla Hamdok menyerukan kedua pihak.

Seruan itu untuk “mendengarkan suara nurani nasional dan segera menandatangani kesepakatan gencatan senjata kemanusiaan demi meringankan penderitaan warga sipil yang hidup di bawah deru senjata.”

Koalisi Hamdok menegaskan bahwa gencatan senjata kemanusiaan dapat menjadi titik awal menuju penghentian perang secara total dan penyelamatan Sudan dari kehancuran lebih jauh.

“Langkah ini merupakan awal penting dari jalur menuju perdamaian,” bunyi pernyataannya.

Kekhawatiran terhadap gencatan sementara

Namun, tak semua kalangan sepakat. Penulis dan analis politik Sudan, Osman Mirghani, memperingatkan bahwa kesepakatan sementara seperti gencatan senjata kemanusiaan justru berpotensi memicu kembali perang dengan kekerasan yang lebih besar jika tidak diikuti langkah-langkah politik serius.

“Penghentian tembak-menembak sementara adalah opsi terburuk. Bisa jadi perang kembali pecah dengan intensitas yang lebih besar, atau kesepakatan itu gagal bahkan sebelum dijalankan,” ujarnya kepada Al Jazeera Net.

Menurut Mirghani, penyelesaian yang paling ideal adalah mengakhiri perang sepenuhnya melalui solusi politik yang komprehensif.

“Rakyat Sudan sudah membayar harga yang sangat mahal. Kunci penyelesaiannya ada pada kemauan politik pemerintah untuk membuka jalan menuju stabilitas,” katanya.

Sementara itu, mantan Menteri Informasi, Faisal Mohamed Saleh, menilai sebagian besar rakyat Sudan justru mendukung gencatan senjata, sebab mereka menilai langkah itu bisa menghadirkan kembali rasa aman dan tenang.

“Sebagian besar warga akan menilai gencatan senjata berdasarkan dampaknya terhadap keamanan mereka, bukan dari sudut pandang politik,” tulis Faisal dalam unggahan di laman Facebook-nya.

Ia menambahkan bahwa banyak kekuatan sipil dan politik yang menolak perang juga menyambut baik gagasan gencatan senjata.

Meski demikian, ia mengakui adanya kelompok-kelompok tertentu yang menolak usulan itu.

Sebagian karena kepentingan politik atau ekonomi, sebagian lainnya karena keyakinan bahwa negara tak akan stabil tanpa menghancurkan RSF.

“Mereka ingin perang berlanjut sampai RSF benar-benar dilenyapkan,” ujarnya.

Di tengah perbedaan tajam ini, masa depan Sudan kembali bergantung pada kesediaan kedua pihak untuk mengesampingkan ambisi militer dan memberi kesempatan bagi upaya diplomasi yang kian mendesak.

Dunia menunggu apakah upaya baru Washington kali ini dapat membuka jalan menuju jeda kemanusiaan—dan mungkin, perdamaian yang lebih lestari.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler