Amerika Serikat (AS) mengecam keras kekejaman yang dilakukan Pasukan Dukungan Cepat (Rapid Support Forces/RSF) di Kota al-Fashir, ibu kota Negara Bagian Darfur Utara, Sudan Barat.
Dalam pernyataan yang dirilis Sabtu (2/11), Departemen Luar Negeri AS menyebut tindakan tersebut sebagai “kekejaman massal”.
Selain itu juga mendesak penghentian segera aksi balas dendam dan kekerasan bernuansa etnis yang telah mengguncang kota itu selama beberapa pekan terakhir.
“Washington sangat prihatin terhadap keselamatan warga sipil di dalam al-Fashir dan mereka yang melarikan diri ke daerah sekitar. Tragedi seperti yang terjadi di al-Jeneina tidak boleh terulang,” demikian isi pernyataan tersebut.
Pemerintah AS menyerukan kedua pihak yang bertikai—tentara Sudan dan RSF—untuk menempuh jalur negosiasi demi mengakhiri penderitaan rakyat Sudan.
“Tidak ada solusi militer untuk krisis ini,” tegas pernyataan itu.
Ia juga menambahkan bahwa bantuan militer dari luar hanya akan memperpanjang konflik.
Washington juga menegaskan akan terus bekerja sama dengan mitra regional dan internasional guna mencari jalan damai bagi Sudan.
Laporan lapangan dari Darfur Utara, lanjut pernyataan itu, menunjukkan pola kekerasan yang “mengerikan dan terarah terhadap warga sipil berdasarkan identitas etnis mereka.”
Kecaman Amerika ini datang di tengah meningkatnya eskalasi pertempuran di sekitar al-Fashir antara tentara Sudan dan RSF.
Berbagai laporan menyebut terjadinya pembantaian terhadap warga sipil, sementara ribuan keluarga dilaporkan melarikan diri ke wilayah yang lebih aman di Darfur Utara dan Barat.
Pertempuran di sekitar kota itu mengancam sisa-sisa struktur kemanusiaan di wilayah Darfur yang telah lama terpuruk akibat blokade serta kekurangan pasokan obat-obatan dan bahan pangan.
Lembaga-lembaga kemanusiaan memperingatkan, jika kekerasan berlanjut, ratusan ribu orang berpotensi mengungsi ke arah perbatasan Chad dalam beberapa minggu mendatang.
Sikap terbaru Washington ini menjadi bagian dari tekanan diplomatik yang kian meningkat terhadap kedua belah pihak agar kembali ke meja perundingan.
Dalam waktu bersamaan, komunitas internasional semakin gencar menyerukan gencatan senjata menyeluruh dan dimulainya kembali proses politik di bawah mediasi regional.
Menurut perkiraan Perserikatan Bangsa-Bangsa, puluhan ribu warga telah meninggalkan al-Fashir sejak awal pekan lalu.
Banyak di antara mereka kini mengungsi ke Kota Tawila, sekitar 70 kilometer dari al-Fashir, yang sebelumnya sudah menampung sekitar 650 ribu pengungsi.
Perang antara militer Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat telah berlangsung sejak 15 April 2023.
Berbagai upaya mediasi, baik regional maupun internasional, sejauh ini belum membuahkan hasil.
Sementara itu, krisis kemanusiaan terus memburuk, menambah panjang penderitaan rakyat Sudan.

                                    